HomeBeritaBerita Utama

Belajar Dari Tujuh Pemimpin Perempuan “Penakluk” Covid-19

Belajar Dari Tujuh Pemimpin Perempuan “Penakluk” Covid-19

JP- Pandemi Covid-19 saat ini benar-benar menggoncang seluruh aspek kehidupan masyarakat dunia. Semua negara seakan berlomba-lomba untuk berjuang memutus mata rantai penyebaran virus corona ini.

Namun sejauh ini ada tujuh negara yang sukses mengendalikan penyebaran virus corona. Ketujuh negara tersebut yakni Jerman, Selandia Baru, Norwegia, Finlandia, Denmark, Taiwan, dan Islandia.

Negara-negara ini berhasil meratakan kurva, berkat pengambilan keputusan yang proaktif dari pemimpin ketujuh negara tersebut. Mereka juga lebih siap dalam hal peralatan medis dan peralatan pelindung untuk staf kesehatan dan masyarakat umum.

Tak heran bila ketujuh negara tersebut mendapat tepuk tangan sebagai wujud apresiasi dunia atas pendekatan empati dan transparan mereka, di mana pertimbangan yang wajar diberikan untuk menjaga kesejahteraan sosial dan ekonomi warga negara. Unik dan hebatnya, ketujuh negara itu justru dipimpin perempuan.

Mulai dari Kanselir Jerman Angela Merkel yang menganggap penyebaran virus corona sebagai ancaman serius bagi negara yang dipimpinnya, sehingga harus ditangani secara serius. Dan ia memilih percaya pada sains dalam mengendalikan Covid-19.

Merkel langsung melakukan uji tes swab sejak awal secara masif dan berhasil menekan angka kematian akibat Covid-19 jauh di bawah negara-negara Eropa lain seperti Perancis, Italia, dan Spanyol, termasuk bagi mereka yang asimptomatik atau memiliki gejala ringan sekalipun.

Selain itu, Merkel menerapkan kebijakan physical distancing yang dapat membantu menghambat penyebaran virus. Ia pun memutuskan untuk memperpanjang kebijakan jaga jarak namun membolehkan toko-toko kembali buka pada pekan depan.

Baca Juga  Sekprov Silangen Tegaskan Pentingnya Sinergitas

Di Taiwan, meski bertetangga dekat dengan Cina yang merupakan sumber utama virus corona (Hanya terpisah 130 kilometer dari Cina daratan, red), namun jumlah pasien yang terpapar corona jauh lebih sedikit kasus ketimbang negara tetangganya.

Ini bisa terjadi karena sejak awal Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menerapkan kewaspadaan tinggi dan gerak cepat untuk mengontrol penyebaran liar pandemi Covid-19.

Saat berita tentang virus corona mulai muncul di Wuhan jelang Tahun Baru Imlek, para petinggi di Pusat Komando Kesehatan Nasional (NHCC) Taiwan langsung bergerak cepat di bawah instruksi Presiden Tsai Ing-Wen. Pusat komando yang didirikan setelah wabah SARS tahun 2003 itu, melansir Journal of American Medical Association (JAMA), langsung bergerak cepat, bahkan ketika negara lain masih bingung memperdebatkan apa yang hendak dilakukan

Lembaga yang dipandu Menteri Kesehatan Shih-cung ini berperan besar mengatasi persebaran liar Covid-19, dengan mengimplementasikan 124 tindakan dalam lima minggu pertama saat wabah, di antaranya mengeluarkan larangan perjalanan, mengalokasikan sumber daya untuk produksi 4 juta masker wajah per hari, dan meringkus penyebaran informasi keliru yang disengaja (hoaks dan disinformasi).

Di Selandia Baru, Perdana Menteri Jacinda Ardern menerapkan karantina wilayah sejak dini dan meningkatkan kewaspadaan maksimum.

Ketika negaranya mencatat 6 kasus positif Covid-19, Ardern mewajibkan isolasi mandiri kepada warga maupun pendatang yang tiba di Selandia Baru. Setelahnya, ia memblokade akses pendatang luar negeri ke Selandia Baru.

Di Islandia, Perdana Menteri Katrín Jakobsdóttir memberikan layanan tes corona gratis kepada seluruh warga untuk mengetahui penyebaran dan tingkat fatalitas virus secara faktual. Ia juga memiliki sistem pelacakan menyeluruh terhadap seluruh warga, sehingga tak perlu lagi menerapkan kebijakan memberlakukan karantina wilayah.

Baca Juga  JAM-Pidum Setujui 20 Pengajuan Restorative Justice

Di Finlandia, Perdana Menteri Sanna Marin menerapkan kebijakan secara lebih sederhana. Di mana ia memanfaatkan teknologi, merangkul influencer milenial untuk menyebarkan edukasi mengenai penyebaran Covid-19 mengingat tak semua warga menonton televisi atau media massa lain. Pendekatan teknologi ini pun mampi menanggulangi Covid-19.

Selain itu, karantina wilayah juga dilangsungkan dengan ketat sejak akhir Maret. Bahkan, ia juga meminta negara lain seperti Korsel untuk membantu menegakkan tes corona bagi warga mereka.

Di Norwegia, Perdana Menteri Erna Solberg memanfaatkan televisi untuk berbicara langsung kepada anak-anak di seluruh negeri. Ia menjawab pertanyaan anak-anak terkait pentingnya tinggal di rumah untuk mencegah Covid-19.

Selain itu, Erna melakukan penanganan darurat dengan menutup institusi publik dan swasta, termasuk sekolah dan TK.

Di Denmark, Perdana Menteri Mette Frederiksen menerapkan karantina sejak awal. Ia langsung melakukan social distancing saat kasus Covid-19 masuk Denmark.

Social distancing di Denmark tak seketat negara Eropa lainnya namun peraturan yang ditegakkan sangat ketat sehingga jumlah kasus Covid-19 bisa ditekan.

Mette Frederiksen melakukan penutupan untuk semua tempat termasuk sekolah.

Cara penanganan Covid-19 dari ketujuh perempuan yang luar biasa ini, ada sesuatu tentang kepemimpinan perempuan yang perlu kita puji dan hargai. Mereka tampaknya menangani krisis dengan lebih baik. Beberapa penelitian menunjukkan, pemimpin perempuan cenderung memiliki belas kasih atau rasa empati terhadap masyarakat di hati mereka.

Baca Juga  Jika Ingin Menang, Pengamat Ungkap Dua Sosok Ini Yang Harus Diwaspadai PDIP

Baik politik domestik maupun internasional harus merefleksikan fakta ini. Bahwa ketidakstabilan seringkali menjadi penyebab ketika kemunduran terjadi dalam perjuangan untuk kesetaraan gender. Kesetaraan gender bukan hanya untuk saat-saat indah. Gender penting pada saat krisis seperti saat ini.

Rupanya negara dengan pemimpin perempuan telah melakukan pekerjaan luar biasa terhadap Covid-19. Apakah itu karena perempuan lebih “sensitif” atau mereka memang pemimpin yang lebih baik?

Jawaban mungkin berbeda-beda. Namun kita dapat belajar dari kiprah ketujuh pemimpin perempuan luar biasa “penskluk” Covid-19 ini. Meski tidak semua upaya-upaya itu dapat diadopsi, setidaknya pemerintah lebih serius lagi dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Dan mengingat sebentar lagi kita menggelar 8 Pilkada Serentak di Sulut pada 9 Desember 2020, maka (Maaf) tanpa bermaksud meremehkan kaum pria, tidak salahnya juga jika di pesta demokrasi nanti perempuan-perempuan Sulut yang terpanggil untuk mengabdi dan membangun daerahnya (Baik Provinsi Sulut maupun 7 kabupaten/kota), diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin.

Apalagi Sulut punya segudang perempuan yang sudah teruji, yang tak kalah luar biasanya dengan ketujuh pemimpin perempuan tersebut, yang punya kepedulian dan kepekaan yang besar, kuat dan nyata, terlebih saat daerah kita sedang dilanda krisis Covid-19 ini, ataupun ketika harus berjalan dalam tatanan baru kehidupan yang bernama “New Normal”. Tentu butuh “sentuhan” pemimpin perempuan. (JPc)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0