HomeKolom & Interaktif

Memahami Identitas Budaya Lokal Bali “Meboros”

Memahami Identitas Budaya Lokal Bali “Meboros”

Oleh: Luh Putu Dina Satriani
(Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja Bali)

DI tengah era modern saat ini, sering kali budaya lokal dirasa semakin terkikis. Hal itu disebabkan oleh sebuah situasi yang mengharuskan setiap individu menyesuaikan diri dengan dunia modern itu. Namun demikian, hemat penulis, hal itu tidak mutlak demikian. Salah satu hal kongkrit yang menunjukkan bahwa era modern tidak mutlak mengikis budaya lokal adalah sebuah tradisi atau budaya ‘meboros’.

Tradisi meboros ini, bagi orang-orang tertentu kedengaran aneh, apalagi bagi orang-orang yang tidak paham. Akan tetapi di desa Busungbiu (Bali), tradisi meboros adalah tradisi yang muncul berawal dari keberhasilan warga desa Busungbiu membangun Pura Puseh.

Desa Busungbiu adalah desa kecil yang hanya dihuni oleh beberapa orang saja, tapi seiring berjalannya waktu, desa Busungbiu mampu membangun Pura Puseh, itulah sekelumit fakta tentang upaya orang di desa yang jumlahnya hanya sedikit tapi bisa membangun sebuah tempat ibadah dan terus bertahan sampai saat ini.

Baca Juga  Kepercayaan Akan Adanya Tuhan

Berdasarkan apa yang ditradisikan lewat pengetahuan sejarahnya, tradisi meboros dilakukan dengan berburu kidang (kijang) di tengah hutan. Adapun tradisi ini dilaksanakan dalam rangka puja wali agung, pada bulan oktober. Tradisi meboros ini hanya dilakukan oleh kaum pria saja, baik dari anak remaja sampai orang dewasa.

Dalam prakteknya, di pagi hari kaum pria berkumpul di seputaran pura desa dan nunas tirta, agar diberi kesehatan dan kelancaran saat mencari kijang, kemudian mereka menuju hutan pangkung biu. Keunikan dari tradisi ini adalah di saat menuju lokasi perburuan, mereka harus menggunakan topi upih yang terbuat dari pelepah pisang dan bisa dibentuk layaknya tanduk kijang dan perlu juga kita membawa berbagai senjata tajam di tangan.

Sebagaimana adanya tradisi meboros, tradisi ini menjadi salah satu rangkaian upacara puja wali yang dilaksanakan krama (warga) desa. Bahkan bila tidak ada kidang yang dikorbankan, pelaksanaan pujawali agung ini bisa diundur waktunya.

Tetuah para orang tua berpegangan pada wejangan bahwa: “Jangan menyapu dulu nanti tidak dapat kidang orangnya sekarang meboros.” Dari tetuah ini, setiap persembahan kidang harus wajib dilakukan saat pujawali, bahkan pujawali agung sedikitnya menggunakan 2 ekor kidang sedangkan pujawali alit seekor kidang saja.

Baca Juga  Pandemi Dan Pemajuan Budaya

Maka sekarang apa yang paling penting untuk dikedepankan? Apa makna terdalam dari tradisi ini? Apakah benar-benar ada makna dibalik tradisi ini? Bagi saya ada. Jika kita kaitkan dengan nilai-nilai yang berpedoman dalam ajaran Agama Hindu yaitu sesuai dengan konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan).

Untuk menjaga keseimbangan alam, kita perlu menerapkan 3 hal dalam konsep Tri Hita Karana: Pertama, hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), yaitu dengan melaksanakan kegiatan meboros yang nantinya dipergunakan dalam upacara puja wali. Pelaksanaan upacara ini sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan.

Kedua, manusia dengan manusia (Pawongan), yaitu saat para laki-laki Busungbiu berkumpul untuk mencari kidang. Saat mencari kidang, diperlukan adanya rasa persatuan untuk saling membantu sehingga memperoleh kidang dengan cepat. Hal ini dapat memupuk rasa persatuan sehingga tercipta hubungan yang harmonis antar sesama manusia.

Baca Juga  SEKILAS SEJARAH MATAKIN Catatan HUT ke-97 MATAKIN: 12 April 1923-12 April 2020 (Bagian 3)

Ketiga, hubungan manusia dengan lingkungan atau alam (Palemahan), tercermin ketika pelaksanaan puja wali warga akan berbondong-bondong pergi ke pura, kemudian setelah melakukan persembahyangan hendaknya membersihkan sarana persembahyangan agar kebersihan lingkungan tetap terjaga. Sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan.

Dari konsep ini, nyatalah makna terdalam dari budaya lokal tradisi meboros. Tradisi ini juga dianggap sebagai penanggalan untuk memperingati awal mula berdirinya Pura Puseh Desa Busungbiu. Mereka percaya dan memohon restu kepada leluhur itu penting, agar diberikan kemudahan dalam pelaksanaan meboros. Begitu juga ketika mereka ingin mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan.

Harapan kedepannya, kita selaku kaum milenial mampu melestarikan kebudayaan daerah. Jangan sampai dengan adanya era globalisasi ini, kebudayaan menjadi luntur. Tetaplah mempertahankan eksistensi budaya lokal sebagai wujud rasa cinta tanah air. (*)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0