ISU pendidikan tak habis-habisnya diperbincangkan di dalam semua situasi, bahkan di tengah situasi pandemi covid-19 juga pendidikan menjadi perbincangan hangat. Tulisan ini justru akan mengurai sedikit kritis tentang model pendekatan guru dan orang tua terhadap pendidikan anak. Penulis yakin, tulisan ini akan memberi suatu pemahaman dalam praktek pendidikan di setiap masa.
Dalam pertumbuhan anak (subjek didik), orang tua dan guru di sekolah berpengaruh besar terutama dalam mengarahkan pola pikir dan perilaku keseharian anak. Oleh karena itu, anak perlu dididik secara baik sehingga dapat membangun kepribadian yang baik pula.
Akan tetapi seringkali kita temui orang tua atau guru mendidik anak dengan cara yang kurang tepat. WHO (World Health Organization) tahun 2003 mencatat sebanyak 40 juta anak usia 0-14 tahun di dunia telah mengalami kekerasan (Child Abuse). Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak diantaranya kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional dan penelantaran. Dari sekian bentuk kekerasan yang dialami anak, yang paling sering dialami berupa kekerasan verbal (verbal abuse).
Seringkali untuk mengajarkan disiplin dan berusaha bersikap tegas, orang tua dirumah ataupun guru di sekolah tidak menyadari bahwa ia telah melakukan ‘verbal abuse’ kepada anak. Verbal abuse adalah pernyataan bernada negatif yang ditujukan pada seseorang. Perilaku ini kerap terjadi, tidak hanya di lingkungan pergaulan di sekolah atau masyarakat, namun juga di dalam keluarga. Verbal abuse dapat berupa ucapan-ucapan yang bernada merendahkan anak. Misalnya ketika anak melakukan kesalahan, orang tua/guru melontarkan kata ‘bodoh’, ‘goblok’, atau ‘dasar tidak becus’ pada anak.
Padahal tanpa disadari hal itu dapat membuat anak sakit hati. Rasa sakit hati yang dirasakan memicunya untuk melakukan perilaku yang sama terhadap lingkungan sekitarnya di kemudian hari. Ucapan-ucapan yang bernada merendahkan anak, akan tersimpan dalam pita memori anak hingga alam bawah sadar anak sehingga akan terbawa hingga ia dewasa nanti. Bukan tidak mungkin, ketika ia menjadi orang tua akan memperlakukan anaknya dengan cara yang sama.
Selain memicu perlakuan yang sama, dampaknya juga akan menyerang kondisi psikologis anak tersebut. Anak akan merasa rendah diri, kurang percaya diri, sering menyalahkan diri sendiri, pesimis. Ia juga tidak memiliki kepercayaan diri dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Dampaknya memang tidak terjadi secara langsung, namun melalui proses. Semakin lama, maka akan bertambah berat dan membuat anak memiliki citra negatif.
Hal tersebut didukung dengan pernyataan Psikolog Liza Marielly Djaprie yang mengatakan kekerasan verbal beririsan dengan kekerasan psikologis yang dampaknya lebih buruk dari kekerasan fisik yang bekasnya terlihat dan bisa disembuhkan dengan obat-obatan. Kekerasan verbal, kata Liza, akan membutuhkan waktu pemulihan yang cenderung lama melalui terapi dan pendampingan, karena sifatnya yang abstrak.
Ada banyak hal yang bisa menjadi penyebab orang melakukan kekerasan secara verbal ataupun secara psikis. Menurut Psikolog Anak, Pendidikan, dan Keluarga Novita Tandry, M.Psi, itu terjadi lebih kepada karena rasa insecurity (rasa tidak aman) yang ada pada dirinya. “Insecurity itu yang membuat dia melakukan verbal abuse terhadap orang. Dia dibentuk dan dibesarkan dalam kondisi bahwa kekerasan secara verbal itu adalah sesuatu yang biasa.” Jika anak sudah terbiasa dengan kata-kata tersebut, tidak ada perasaan bersalah yang ia rasakan ketika melontarkan ucapan yang serupa pada lingkungan sekitarnya. Apabila tidak segera dihentikan, hal ini nantinya dapat memicu rantai verbal abuse yang berkelanjutan.
Selain faktor tersebut, terdapat pula beberapa faktor yang menyebabkan perlakuan verbal abuse yaitu tekanan, kemarahan, masalah ekonomi, depresi, dan lain sebagainya. Perasaan inilah yang memicu seseorang meluapkan emosinya. Ketika ia telah melontarkan ucapan tersebut, sesaat terasa lega, namun tidak dengan akibatnya yang berkepanjangan.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, perlu adanya sosialisasi kepada para guru dan orang tua dalam mendidik anak. Jangan sampai niat baik justru berbalik memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangan anak kedepannya. Ada berbagai hal yang dapat ditempuh untuk mendidik anak dengan baik, namun tidak dengan ‘verbal abuse’. Pemberian pujian (reinforcement) akan lebih bermanfaat dan dapat meningkatkan kepercayaan diri anak.
Begitu pula pemberian penghargaan (reward) terhadap hasil karya anak akan sangat meningkatkan optimisme anak tersebut. Ketika ia melakukan kesalahan sekalipun hendaknya orang tua atau gurulah yang memberikan semangat untuk anak dapat bangkit dan tidak berusaha menyalahkan dirinya sendiri. Anak akan merasa dirinya berharga, sehingga ia akan dengan mudah berkembang ke arah yang lebih baik. Salam pendidikan. (*)
COMMENTS