RENUNGAN
*Jumat, 05 Juli 2019: Hari Biasa, Pekan Biasa XIII:
*Bacaan Injil: Mat 9:9-13*
“Bukan orang sehat yang memerlukan dokter; Aku menginginkan kasih sayang, bukan persembahan”
*Refleksi* :
Yesus makan di rumah Mateus, seorang pemungut cukai. Ini menjadi trending topik di kalangan orang Farisi dan kaum agamis. Betapa tidak, seorang suci seperti Yesus memutuskan untuk makan bersama dengan orang yang secara publik dicap pendosa. Apakah Ia mau mengotori dirinya dengan dosa para koruptor? Atau Ia mau menyucikan yang ‘kotor’ agar pulih martabatnya?
Sebelum sampai pada tahap pertobatan, Mateus harus melewati beberapa fase penting dalam kisah perjumpaannya dengan Yesus:
*Pertama* , Yesus memanggilnya saat sedang memungut bea cukai. Artinya panggilan terjadi saat ia sedang melakukan pekerjaan sebagai penagih pajak. Yang dalam pekerjaannya terjadi praktik “korupsi”: pungutan liar, sogokan, nepotisme, dll. Praktik ini dianggap paling kotor oleh kaum Yahudi karena ia bekerja bagi kaum penjajah romawi. Ia menjadi antek asing. Dosa sosialnya tersebut menjadikan Mateus sebagai musuh bersama. Ia sangat tidak layak baik secara rohani maupun secara sosial-kesukuan di ruangan ‘agama’ dan setiap ritusnya.
Panggilan Yesus terhadapnya, dapat disebut secara bebas sebagai “OTT” (operasi tangkap tangan). Yesus keliatan seperti anggota “KPK” (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang turun langsung ke “TKP” (tempat kejadian peristiwa). Beda antara OTT gaya Yesus dan KPK, kalau KPK: pelaku ditangkap, di bawah ke rumah tahanan, diperiksa, diadili dan keluar dengan rompi orange, difoto dan diliput oleh media (pelakunya tersenyum rohani, lalu mengenakan simbol agama, terkesan dizolimi) lalu dimasukan ke Rutan. Rumah pelaku diberi tanda “police line”: orang lain tidak boleh masuk rumah itu selama ada pemeriksaan. Pelaku dibelenggu kebebasannya di balik tembok penjara.
Sementara gaya Yesus: pendosa dipanggil, diajak ke rumahnya, makan bersama, tak ada pemeriksaan kasus dan interogasi bercorak pengadilan, pendosa lain bergabung secara voluntir, tanpa diborgol, para pemungut cukai menyesal dan bertobat, rumah penuh dengan suka cita. Keluar dari rumah tanpa rompi orange tetapi sebagai pribadi yang merdeka dan menjadi baru. mereka disembuhkan secara rohani. Rumah Mateus yang semulanya menjadi rutan harta korupsi, kini menjadi “open house” penuh keramahan dan kemerdekaan. Rumah telah disucikan.
*Kedua* : fase pertobatan Mateus mendapat sorotan dari kaum agamis. Banyak orang sangat tidak setuju dengan gaya Yesus “mengunjungi rumah orang berdosa dan makan bersama”. Masa sih, orang suci mau main ke rumah sarang koruptor dan makan hasil jarahan berjemaah? Sudut pandang ini dapat disebut tantangan pewartaan. Ada orang yang tidak suka orang lain berubah. Apalagi dikunjungi orang baik dan suci. Pokoknya, sekali anda berdosa, selamanya anda dicap sebagai pendosa.
Apa yang dibuat Yesus dari aspek spiritual?Adalah keputusan yang berani dalam metode pastoral-Nya: bebaskan korupsi, harus berani mengunjungi koruptor untuk bimbingan rohani, masuk rumahnya dan makan bersamanya tanpa harus berteriak-teriak sewaktu kotbah dari mimbar yang jauh. Pastoralnya sederhana saja: dari Altar dan mimbar menuju TKP (Tempat Kegiatan Pelayanan). Sikap ini memudahkan OTT (Omong Tentang Terang) oleh KPP (Komisi Pelayanan Pastoral), sehingga buahnya sungguh-sungguh membawa orang-orang berdosa tersebut menjadi KPK (Kelompok Penerima Pengampunan) dengan penuh sukacita.
*Pesan* : undanglah Yesus ke rumah kita. Hanya Dialah yang menyucikan rumah kita dari kesalahan dan dosa. Demikianlah, kita juga perlu mengunjungi rumah saudara kita yang dicap “berdosa” oleh publik supaya ia mengalami sukacita dan kerinduan untuk bertobat. Karena kita semua berdosa dan tidak bersih, maka kita butuh Yesus, seperti yang dikatakannya “Bukan orang sehat yang memerlukan dokter; Aku menginginkan kasih sayang, bukan persembahan”. Amin.
*Tuhan memberkati.* (Pater Abdul Ocd)
COMMENTS