MANADO, JP- Pembangunan Museum Holocaust Yahudi di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut) disambut antusias Pemerintah Provinsi Sulut. Namun kini terus menuai banyak kritik dari MUI dan berbagai ormas Islam serta sejumlah tokoh nasional.
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menyebut museum ini berpotensi menghadirkan keresahan dan kontraproduktif terhadap upaya pembelaan terhadap Palestina yang diperjuangkan oleh pemerintah serta rakyat Indonesia.
Namun Wakil Gubernur (Wagub) Sulut Steven Kandouw menilai pembangunan museum itu justru menjunjung semangat toleransi masyarakat. Sebab, dia berencana Sulut nantinya akan dijadikan laboratorium kerukunan.
Dirinya menegaskan pihaknya tidak ada upaya dan keinginan mendiskreditkan kelompok serta agama tertentu. Wagub pun berharap sejumlah kesalahan masa lalu dapat diselesaikan.
Menyikapi polemik ini, tulisan Rohaniwan Katolik asal Sulut Pastor Johanis Mangkey MSC dengan judul “Solidaritas Kemanusiaan”, yang ditulisnya saat masih berkarya di Roma, Italia, dan menghadiri langsung acara penganugerahan tanda jasa, bisa menjadi jawaban atas polemik ini.
Berikut tulisannya:
SOLIDARITAS KEMANUSIAAN
Oleh: J. Mangkey, MSC
“Orang yang menyelamatkan satu nyawa menyelamatkan seluruh dunia”, tulis kitab Talmud Yahudi. Kalimat ini bergema saat berlangsung upacara penyerahan medali “Orang-Orang Benar di antara para Bangsa” (The Just among the Nations), di biara pusat (generalat) Suster Ursulin di Roma, pada 19 Desember 2002. Medali tersebut diserahkan oleh wakil pemerintah Israel kepada almarhumah Sr Marie-Xavier Marteau OSU dan almarhum Bapak M. Marcucci atas jasa mereka menyembunyikan dan menyelamatkan orang-orang Yahudi yang dikejar-kejar oleh Nazi pada tahun 1943 di kota Roma tanpa takut akan risiko kehilangan nyawa sendiri.
Suster Colette Lignon OSU, Pemimpin Tertinggi Ordo Ursulin, dan Bapak Marcucci Jr menerima medali ini atas nama para penerima yang sudah meninggal. Medali ini merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah Israel atas nama komunitas Yahudi kepada orang-orang bukan Yahudi, khususnya kepada mereka yang telah berjuang melawan deportasi dan pemusnahan atau pembasmian (holocaust) kaum Yahudi atau mereka yang berani mengambil risiko kehilangan nyawa sendiri demi menyelamatkan orang-orang Yahudi yang hendak dimusnahkan. Nama para penerima medali “Orang-Orang Benar di antara para Bangsa” ini diabadikan secara tertulis di dinding monumen kehormatan di Taman Peringatan Shoah (holocaust) di Israel.
Dalam upacara tersebut hadir dua orang di antara para “survivors” atau mereka yang lolos dan kini masih hidup; mereka memberikan kesaksian yang mengharukan tentang pengalaman mereka dikejar-kejar sampai disembunyikan di biara tersebut.
Bapak Marcucci berani menyembunyikan sejumlah orang-orang Yahudi di rumahnya, bahkan pada waktu malam keluarga ini rela mencari tempat untuk beristirahat di luar rumah dan memberi ruang di dalam rumah mereka untuk orang-orang Yahudi yang dikejar-kejar oleh tentara Nazi. Sedangkan di biara Ursulin dengan penuh keberanian Sr Marie-Xavier Marteau OSU, dengan dibantu para Suster lainnya, menyambut dan menyembunyikan pria, wanita, anak-anak Yahudi yang dicari-cari oleh tentara Nazi untuk dideportasi ke kamp konsentrasi dan dimusnahkan. Tercatat sebanyak 103 orang Yahudi ditampung, dari waktu ke waktu, di biara pusat Ursulin ini, dan yang termuda diantara mereka adalah seorang gadis berusia 8 tahun.
Bersamaan dengan pengepungan pemukiman Yahudi di Roma para warga Yahudi dikejar-kejar dan ditangkap. Sementara itu Paus Pius XII memohon kepada biara-biara untuk membuka pintu bagi orang-orang Yahudi tersebut. Suster Marie-Xavier Marteau OSU, bersama komunitasnya, mengambil risiko penuh bahaya dengan menampung orang-orang Yahudi di biaranya. Risiko menjadi sangat besar dan nyata karena hanya sekitar 12 meter dari biara tersebut terdapat penginapan para pejabat militer Jerman; juga sudah pada tahun sebelumnya biara ini dimata-matai, antara lain dengan menempatkan instalasi satu jalur telepon oleh tentara Nazi, melalui mana semua percakapan di dalam rumah dapat dimonitor di luar.
Berbulan-bulan lamanya biara tersebut disibukkan dengan membantu “para penghuni baru” ini misalnya membuatkan surat-surat identitas baru, mencari makanan pada saat roti pun sangat sulit didapat, serta mendampingi dan mendengarkan kegelisahan hati mereka. Apa pun yang dapat menarik perhatian tentang kehadiran mereka sangat dihindarkan.
Peristiwa tersebut menyiratkan suatu solidaritas kemanusiaan yang tinggi. Cinta kepada sesama, sebagaimana diajarkan oleh Kristus dan dihayati oleh orang-orang tersebut, dalam situasi dan masa yang sangat sulit serta berbahaya, tidak mengenal batas-batas keagamaan dan kebangsaan. Tanpa membedakan agama dan asal-usul orang-orang seperti mereka mampu memberi kesaksian bahwa perbedaan agama dan suku bangsa tidak bisa menjadi halangan untuk membantu menyelamatkan orang lain. Agama dan suku bangsa yang berbeda tidak bisa menjadi dalih untuk tidak berbuat baik kepada sesama dan tidak bisa menjadi alasan terciptanya permusuhan atau konflik. Kasih sejati dan solidaritas kemanusiaan universal lebih bernilai daripada pertimbangan agama, kesukuan atau status sosial.
Sr Marie-Xavier dan Bapak Marcucci termasuk diantara sekian banyak orang yang secara nyata menjawab dengan tepat pertanyaan seorang ahli Taurat yang ingin mencobai Yesus: “Siapakah sesamaku manusia?” (Lukas 10:29). Melalui solidaritas kemanusiaan mereka yang tinggi, dengan risiko kehilangan nyawa sendiri, ajaran Yesus “cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Lukas 10:27) mendapat wujud konkrit. Teladan kesaksian mereka yang berani menjadi ajakan bagi kita untuk membudayakan solidaritas kemanusiaan dengan sesama manusia, tanpa pandang agama, suku dan status sosial. Cinta dan solidaritaslah yang harus menang!
(Roma, 25 Desember 2002)
COMMENTS