HomeKolom & Interaktif

Apakah Etika Kita Sudah Mulai Runtuh?

Apakah Etika Kita Sudah Mulai Runtuh?

Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado-Pegiat Filsafat)

ETIKA adalah ilmu yang mengkaji tentang perilaku/tindakan manusia. Maka karena mengkaji perilaku/tindakan manusia, sekurang-kurangnya bisa dikatakan bahwa etika adalah ‘alat ukur’ bagi tindakan manusia.

Pendek kata etika dapat diartikan sebagai evaluasi kritis atas setiap perilaku/tindakan moral yang berlaku di dalam masyarakat dimana setiap individu manusia berdiam.

Dalam dunia ilmu pengetahuan, etika dipandang sebagai ilmu yang mencari orientasi. Jika etika dipahami seperti itu, maka sekaligus pula menunjuk pada fakta bahwa etika digunakan manusia untuk menjawab persoalan seputar bagaimana manusia hidup dan berperilaku/bertindak. (Magnis Suseno 1987: 5).

Melampaui realitas itu, kita perlu memahami etimologis kata etika. Secara etimologis etika berasal dari kata Yunani ethos, yang secara harafiah berarti adat kebiasaan atau kelakuan manusia. Istilah etika dipakai untuk menyebut ilmu dan prinsip-prinsip dasar penilaian baik buruknya perilaku (tindakan) manusia sebagai manusia. sementara objek materialnya adalah perilaku-tindakan manusia sebagai manusia, sedangkan objek formalnya adalah tentang baik buruknya atau benar salahnya tindakan tersebut berdasarkan norma. (Sudarminta, 2013: 4-5).

Banyak orang berpendapat, saat ini terdapat krisis etika. Etika kini dianggap mulai luntur, terutama menyangkut norma-norma kesopanan yang lambat laun terasa berkurang dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Etika yang biasanya menjadi evaluasi kritis atas setiap tindakan manusia, kini mulai tidak dijadikan patokan lagi dalam bertindak.

Baca Juga  Bersahabat Dengan Corona

Penyebabnya tentu dapatlah disebutkan antara lain adanya perubahan teknologi. Sebagai contoh, kita bisa melihat bahwa arus inormasi kini, tampak tidaklah sulit untuk didapatkan. Dengan kata lain, informasi saat ini sangatlah mudah dan cepat untuk didapatkan.

Betapa tidak, kita menemukan bahwa kehidupan yang ada kini, sangat mudah mengakses informasi melalui internet dan informasi-informasi sangat sering tidak sempat difilterisasi terlebih dahulu.

Kendati begitu, dalam kaca mata penulis, hal ini bukanlah salah dari teknologi, tapi yang paling berperan adalah manusia. Perilaku-tindakan manusia atas cara tertentu adalah ‘aktor’ yang paling menentukan jika berbicara soal mudahnya arus informasi didapatkan. Dengan begitu, kita akhirnya kembali pada cara bagaimana manusia harus berperilaku-bertindak.

Seminggu terakhir, lini masa ramai oleh pemberitaan tentang bantuan yang diberikan antara lain kepada tukang ojek di salah satu kota di Jawa Barat, di mana ternyata bantuan tersebut ternyata berisi sampah.

Hal itu bukan hanya menghebohkan jagad maya, tapi juga mengggemparkan se-antero Indonesia. Tindakan seperti ini tentu dikecam oleh semua kalangan dan dianggap sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Lebih parahnya lagi, tindakan itu bahkan direkam dan dibagikan di channel youtube sang pelaku. Herannya pelaku tampak sangat senang dan gembira ketika melakukan tindakan itu.

Baca Juga  Profesionalitas Seorang Guru

Sebuah tindakan, apapun itu, haruslah merupakan tindakan yang berperikemanusiaan. Levinas, sang Filsuf kelahiran Yahudi, mengatakan bahwa tanggung jawab sudah diatributkan pada setiap individu dan mendahului inisiatif sang subjek (individu).

Artinya, tanggung jawab bukanlah suatu dorongan melainkan sesuatu yang mendasar bahkan mendasari setiap sikap yang diambil. (Bdk. Tjaya dalam Hardiman, dkk., 2011: 101). Maka setiap tindakan, dari perspektif Levinas, sudah meyatu dengan tanggung jawab yang melakukan tindakan itu. Maka kondisi (kasus) seperti diuraikan sebelumnya, merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab, dan disitulah nampak bahwa etika kini mengalami pergeseran.

Kendati demikian, pergeseran tersebut sebenarnya tidak bisa disimpulkan sebagai penurunan kualitas etika. Di Indonesia sendiri etika bermasyarakat merupakan aturan yagn tidak tertulis, yang terdapat/melekat pada setiap ajaran agama, adat istiadat dan budaya yang sangat beragam.

Di jenjang pendidikan sekolah-pun, etika tidak diajarkan secara khusus, tapi melekat atau menyatu pada beberapa bidang/mata pelajaran. Dengan begitu, tanpa memutlakkan, seharusnya etika tak perlu diajarkan, karena sudah menjadi jati diri setiap pribadi manusia yang hidup di tengah keluarga dan di tengah masyarakat.

Jika kita boleh jujur, kita harus punya kesadaran bahwa sebagai manusia, kita sesungguhnya adalah agen tindakan baik. Manusia harus menjadi agen utama dalam rangka menciptakan perdamaian, agar tumbuh juga rasa kemanusiaan. Jika ada pandangan seperti ini, kita turut menegaskan bahwa kemanusiaan begitu berharga, bernilai dan berada ditempat yang semestinya.

Baca Juga  New Normal + Budaya Hukum Masyarakat Yang (Masih) Abnormal = New Problem

Berkaca pada istilah Filsuf Irlandia, Alasdair MacIntyre, kita harus menjadi manusia yang berkeutamaan lewat kegiatan bermakna. Dengan kegiatan bermakna, keutamaan seseorang akan tumbuh, demikian juga kegiatan bermakna tersebut, menunjang tumbuhnya keutamaan dalam diri manusia untuk menjadi manusia utuh. (MacIntyre 1981).

Akhirnya, kita harus semakin menumbuhkan sebuah sikap humanis-etis. Humanisme etis dibutuhkan untuk: Pertama, melindungi martabat manusia dari sikap inkonsistensi dalam hal tanggung jawab sebagai manusia, kedua, memberi evaluasi kritis terhadap cara berpikir yang berdasar atas penafsiran pribadi, yang tidak mempertimbangkan efek yang akan ditimbulkan dengan tindakan yang dilakukannya.

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa manusia yang bebas pada dasarnya memiliki prinsip kesadaran akan dunia dan kesadaran diri, maka manusia berdiri tidak hanya di dalam, tetapi juga sekaligus di luar dunia.

Manusia adalah person, dan konsep person merupakan kontribusi penting humanisme etis yang dimaksud. Kita membela kemanusiaan bukan karena ide kemanusiaan, melainkan karena ada kenyataan person yang dibawanya. Manusia harus diperlakukan sebagai manusia. (Hardiman 2016: 131-132). (*)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0