Ilustrasi Kasus Stunting. (Medcom.id)
TALAUD, JP – Pencegahan dan penanggulangan stunting merupakan salah satu upaya yang sangat strategis untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) unggul.
“Pencegahan stunting merupakan investasi pembangunan SDM dalam jangka panjang. Jika tidak maka akan menjadi beban Indonesia ke depan, khususnya Kabupaten Kepulauan Talaud,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud Yohanis B. K. Kamagi, di Melonguane.
Yohanis berbicara dalam kegiatan Rapat koordinasi (Rakor) pencegahan stunting yang melibatkan stakeholder terkait dan turut dihadiri Ketua DPRD Talaud Jakob Mangole, kepala OPD terkait, Kepala RSUD Mala dan RSB Gemeh, camat, lurah/kades, serta kepala Puskesmas se-Talaud.
Sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk pada Desember 2021 mencapai 273.879.750 jiwa dan diprediksi akan mencapai 318,96 juta jiwa pada 2045, Indonesia menjadi negara yang punya modal tenaga kerja yang luar biasa. Kementerian PPN dan BPS dalam laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 memperkirakan penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) mencapai 207,99 juta jiwa.
Bonus demografi ini di satu sisi menjadi berkat bagi Indonesia. Karena, usia produktif inilah yang akan menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Namun, di lain sisi bonus demografi ini bisa menjadi malapetaka. Sebab banyak agen penggerak perekonomian nasional masa depan (baca:Balita) kita menderita stunting. “Saat ini satu dari tiga balita di Indonesia mengalami stunting,” kata Wapres Ma’ruf Amin.
Andriyanto, Alumnus Program Doktor PSDM Unair dan Kepala Laboratorium Gizi Jawa Timur, dalam harianbhirawa.co.id, mengatakan, “Stunting akan berakibat terhambatnya pertumbuhan fisik anak menjadi pendek, berakibat gangguan kognitif atau kecerdasan, serta gangguan penyakit metabolik ketika sudah berumur di atas 40 tahun. Akibatnya pendidikan dan produktivitas rendah, kemiskinan akan terus membelenggu dan pada gilirannya kualitas SDM bangsa Indonesia secara keseluruhan menjadi rendah.”
Meski begitu, kita harus tetap optimis. Stunting bukan masalah genetik, tetapi persoalan pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak sejak anak di dalam kandungan sampai usia dua tahun. Karena itu, stunting masih dapat dicegah dan ditanggulangi. Apalagi bila semua pemangku kepentingan serta masyarakat bekerja sama, niscaya akan lebih mudah teratasi.
“Karena itu, untuk mencapai hal tersebut (membebaskan anak dari stunting) sangat diperlukan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pantauan serta pengadaan kegiatan lintas sektor dan juga tingkat pemerintah dan masyarakat,” kata Yohanis.
Menurutnya, untuk mengoptimalkan dan mengefektifkan upaya pencegahan dan penanggulangan stunting di daerah, pemerintah daerah akan menetapkan lokasi prioritas pencegahan stunting tahun 2023. “Dan diharapkan lokasi fokus ini benar-benar ditetapkan sesuai dengan indikator analisis situasi,” kata Yohanis lagi.
Masalah stunting memang bersifat multidimensi. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Mulai dari kemiskinan, kurangnya pengetahuan ibu, gaya hidup, sosial budaya bahkan politik.
“Oleh karena itu, pencegahan stunting kuncinya ada pada masyarakat dan perubahan prilaku. Semua pihak juga harus ikut berperan, karena pemerintah daerah tidak bisa, jika hanya sendirian mengatasi masalah ini,” pungkas Yohanis. (Rey/JPc)
COMMENTS