HomeKolom & Interaktif

Dampak Undang-undang ITE dalam Perubahan Sosial Masyarakat

Dampak Undang-undang ITE dalam Perubahan Sosial Masyarakat

Oleh ; Natalia N Posumah, SH.

Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik secara tertulis maupun secara tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang atau masyarakat yang harus di taati dalam kehidupan bermasyarakat.

Hukum sebagai social engineering, merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Peranan hukum di dalam masyarakat khususnya dalam menghadapi perubahan masyarakat perlu dikaji dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sosial. Pengaruh peranan hukum ini bisa bersifat langsung maupun tidak langsung.

Hukum adalah pengatur kehidupan masyarakat, dan kehidupan masyarakat tidak mungkin biasa teratur kalau tidak ada hukum. Masyarakat merupakan wadah atau tempat bagi berlakunya suatu hukum. Tidak mungkin ada atau berlakunya suatu hukum kalau masyarakatnya tidak ada. Jadi, dari kedua pernyataan di atas ini sudah dapat dibuktikan, dimana ada hukum di situ pasti ada masyarakat dan demikian pula sebaliknya.

Bagi orang awam atau masyarakat awam yang baru mengetahui bahwa ada hukum yang berlaku setelah mereka melakukan pelanggaran. Mereka menganggap hukum itu sesuatu yang rumit, bertele-tele serta memakan waktu dan biaya. Lantas apakah hukum itu sehingga masyarakat wajib untuk mematuhi hukum ?

Menurut Para Ahli Hukum, antara lain Soerjono Soekanto ada 5 (lima) factor yang menentukan efektif tidaknya suatu hukum, yaitu :

1. Faktor hukum itu sendiri (undang-undang);

2. Faktor Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, adalah sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang disadarkan pada karya manusia di dalam pergaulan hidup.

Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, factor penting yang menentukan apakah suatu hukum bisa bekerja atau tidak adalah manusia.

Suatu hukum benar-benar hidup dan bekerja dalam masyarakat apabila hukum tersebut memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu ;

1. Berlaku secara yuridis, yaitu apabila penentuannya didasarkan ada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, atau terbentuk menurut cara yang telah ditentukan, atau menunjukkan hubungan keharusan anatara kondisi dan akibatnya;

2. Berlaku secara sosiologis, ytiu apabila kaidah tersebut efektif. Hal ini berarti kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa atau diterima dan diakui oleh masyarakat;

3. Berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai posistif tertinggi.

Hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh Agent Of Change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih Lembaga-lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau social planning. Hukum mempunyai pengaruh langsung atau pengaruh tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial.

Baca Juga  Salunglung Sabayantaka, Fondasi Masyarakat Bali Melawan Wabah Covid-19

Hukum ada jika ada masyarakat, sementara karakteristik masyarakat itu selalu berubah maka sudah sewajarnya pula jika peran hukum dalam masyarakat serta perilaku hukum punberubah mengikuti wadahnya. Peran hukum dan perilaku hukum dalam perubahan sosial bisa dibilang sangat bergantung pada 2 (dua) komponen, yaitu Lembaga yang menegakkannya dan masyarakat sebagai subjek pemberlakukan hukum tersebut. Komponen pertama, Lembaga yang menegakkan hukum di Indonesia, seperti halnya di negara-negara demokratis lainnya di bagi dalam 3 (tiga) institusi yaitu ; Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Sementara komponen kedua yaitu ; masyarakat, secara jenisnya tentu dapat dipilah kedalam berbagai startifikasi sosial, namun secara keseluruhan masyarakat sebagai subjek pemberlakuan hukum memiliki karakteristik yang sama, yaitu selalu berubah-ubah.

Perubahan sosial merupakan perubahan yang bersifat fundamental, menyangkut perubahan nilai sosial, pola perilaku, juga menyangkut perubahan institusi sosial, interaksi sosial dan norma-norma sosial. Adanya perubahan sosial yang cepat tapi hukumnya belum bisa mengikuti disebut hukum sebagai Sosial Lag, yaitu hukum tidak mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat, atau disebut juga disorganisasi, aturan lama sudah pudar tapi aturan pengganti belum ada. Namun apabila hukum tersebut mampu menampung perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat maka dapat dikatakan bahwa hukum tersebut bersifat futuristik.

Peran hukum dalam proses perubahan sosial, akhirnya terbagi menjadi dua karakteristik. Pertama, hukum berfungsi sebagai alat perubah (bersifat aktif), Kedua, hukum berfungsi sebagai wadah perubahan (bersifat pasif) yakni masyarakat berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu.

Bagaimanapun caranya, tetap peran hukum menentukan bagaimana arah perubahan sosial tersebut menuju. Saat ini hukum bukan hanya dipakai untuk mempertandingkan pola-pola hubungan serta kaidah-kaidah yang telah ada. Hukum yang diterima sebagai konsep yang modern memiliki fungsi untuk melakukan suatu perubahan sosial. Hukum bukan lagi mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada, tetapi juga berorientasi kepada tujuan-tujuan yang diinginkan, yaitu menciptakan pola-pola perilaku yang baru. Di dalam menjalankan fungsinya, hukum senantiasa berhadapan dengan nilai-nilai maupun pola-pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat.

Hukum senantiasa dibatasi oleh situasi atau lingkungan di mana ia berada, sehingga tidak heran kalau terjadi ketidak-cocokan antara apa yang seharusnya (das sollen) dengan apa yang senyatanya (das sein). Peran hukum (undang-undang) dalam perubahan sosial bisa dikatakan tidak bebas nilai. Setiap undang-undang sekali dikeluarkan akan berubah baik melalui perubahan formal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak. Ia berubah disebabkan oleh adanya perubahan kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain yang melingkupinya.

Baca Juga  SEKILAS SEJARAH MATAKIN Catatan HUT ke-97 MATAKIN: 12 April 1923-12 April 2020 (Bagian 5)

Dapat disimpulkan bahwa hukum berperan penting dalam mendorong terjadinya perubahan sosial dengan berbagai cara. Hukum dapat membentuk institusi sosial yang akan membawa pengaruh langsung pada tingkat atau karakter perubahan sosial.

Salah satu contoh hukum dapat berperan langsung dalam perubahan sosial yaitu, dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Saat sekarang ini, hampir setiap orang pasti mempunyai akun dalam media social (medsos). Dalam penggunaannya akun medsos diharapkan turut disertai dengan perilaku bijak dalam menggunakannya. Sebab bila tidak berhati-hati, medsos justru mendatangkan masalah bagi kita.

Sebelum adanya Undang-undang ITE orang dengan gampang saja mengupload semua bentuk ekspresi kedalam medsos tanpa memikirkan dampak hukumnya. Saat ini dengan adanya Undang-undang ITE maka telah ada batasan-batasan tertentu tentang gambar-gambar/ foto/video yang di upload ke medsos.

Tetapi dengan berjalannya waktu dan semakin canggihnya elektronik yang beredar maka pemanfaatan Teknologi Informasi, media dan komunikasi telah mengubah baik perilaku, masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi Informasi dan Komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan social, ekonomi dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat.

Sebagai negara hukum, lambat laun hukum semakin dinamis, berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat. Seperti dalam kenyataannya, yang menjadi trending topik hadirnya Undang-undang RI No 19 Tahun 2016 atas perubahan atas Undang-undang No RI No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik atau akrabnya disebut UU ITE.

Dengan adanya UU ini secara langsung hukum dapat berperan dalam perubahan social, yang sebelumnya masyarakat dengan mudah mengupload gambar/video/pernyataan-pernyataan yang mungkin menjelekkan orang lain maka dengan kehadiran Undang-undang ITE sejak diundangkan pada tanggal 25 Maret 2008 telah memakan “korban” yang melanggar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam Pasal 45 ayat (3) disana dijelaskan bahwa ´’ Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), dapat menjadi senjata ampuh bagi mereka yang merasa terusik subjektifitas pribadinya.

Baca Juga  Rasisme Dan Keadilan Sosial Di Indonesia

Kita tahu bersama bahwa penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebelumnya sudah di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 310 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, yaitu ;

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Atas dasar 2 (dua) perundang-undangan di atas, kita bisa melihat tentang perbedaan ancaman hukumannya. Dalam KUHPidana ancaman hukuman dalam pelanggaran hukum di atas jelas berbeda dengan ancaman hukuman yang diatur oleh Undang-undang ITE. Sehingga ini bisa, mempengaruhi akan perubahan social dimasyarakat. Dalam undang-undang ITE jelas hukuman pidananya paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), sedangkan dalam Pasal 310 KUHpidana ancaman hukumannya 9 (Sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000,- (empat ribu rupiah).

Undang-undang ITE ini, masyarakat menyambutnya dengan sikap yang berbeda-beda, disatu sisi masyarakat, khususnya pengguna internet, merasa adanya pengaturan yang akan memberikan landasan hukum bagi penggunaan internet. Undang-undang ini diharapkan akan menjawab permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.

Oleh banyak kalangan, Teknologi Informasi saat ini dianggap menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu dibuatlah undang-undang ini agar dapat mengurangi efek negatif dari Teknologi Informasi tersebut, dan mengurangi perbuatan yang melawan hukum terkait Teknologi Informasi tersebut. (*)

 

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0