HomeKolom & Interaktif

Hendrika dan Klaim Atas Kewarganegaraan

Hendrika dan Klaim Atas Kewarganegaraan

Oleh: Astra Tandang

KISAH Hendrika Mayora Victoria, seorang transpuan Katolik yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di jagad maya usai ditayangkan BBC Indonesia dalam sebuah documenter pendek, memberi intensi yang besar bagi diskursus seputar merebut kewargaanegaraan inklusif.

Hendrika dengan keberanian melepaskan jubah sebagai rohaniawan Katolik dan tetap menjalani kehidupan di dalam masyarakat yang sangat patriarkis, Sikka, Flores adalah sebuah sikap interupsi atas wacana dan moral dominan yang dibingkai institusi negara, masyarakat pun agama terhadap orang-orang pinggiran yang kerap dihakimi sebagai “sampah” yang harus disisihkan dalam pergaulan sosial, politik maupun dalam distribusi ekonomi.

Ia menjadi salah satu contoh dari mereka yang tereksklusikan namun berani menuntut pemenuhan hak sebagai warga negara, meski memilih identitas nonmainstream. Tidak biasa. Tidak sesuai dengan budaya masyarakat umumnya, yang seringkali erat berhubungan dengan doktrin-doktrin yang diproduksi otoritas agama dan kuasa budaya patriarkal.

Meski memang secara awam di masyarakat kita, terbayang bahwa kondisi kehidupan adalah setara. Namun tampak tercatat dalam konstitusi kita bahwa, setiap warga negara berkedudukan sama dihadapan hukum dan dijamin hak-haknya, baik sipil, politik, ekonomi dan budaya. Namun, narasi-narasi minor yang datang dari sekelompok warga yang masih sibuk merebut klaim atas haknya sebagai warga negara masih terus tumbuh dalam lintasan sejarah negara ini.

Ide dasar kewarganegaraan secara umum adalah ikatan kolektif yang inklusif, tidak boleh ada yang tereksklusifkan. Hal itu berlaku bagi semua warga negara dan tak bisa dipungkiri, trasformasi komunitas politik dunia yang dipicu oleh efek kembar yang saling berhubungan.

Baca Juga  Belajar Kampus Merdeka

Globalisasi dan perkembangan wacana multikulturalisme mulai abad 20 telah membuka cela bagi identitas-identitas nonmainstream untuk lebih mengemuka di masyarakat. Membuka mata negara, institusi agama dan setiap orang bahwa fenomena tersebut adalah sebuah realitas sosial yang tak terhindarkan.

Esensi kewarganegaraan adalah inklusi, yang mengakui bahwa hak-hak warga negara adalah universal dan mengedepankan kesetaraan. Theophilus (2006:1) mengatakan kewarganegaraan inklusif itu berdasarkan prinsip-prisnsip keadilan sosial dan inklusi dari seluruh anggota masyarakat tanpa adanya batas-batas identitas.

Di sini, Indoensia sebagai negara bangsa terus diuji kapasitasnya dalam mengkoordinasi dan mendefenisikan terus kehidupan kolektif warganya.

Kewarganegaraan kerap menjadi sentral dalam wacana liberal, namun sejak sekitar 10 tahun lalu konsep kewarganegaaraan digunakan oleh gerakan feminis, multi-kulturalis dan teori gerakan sosial sebagai sikap kritis dan narasi alternative dalam menginterupsi tradisi liberal.

Meski gerakan kiri radikal tak jarang menggap kewargaan (citizenship) terlalu ‘borjuis’ dan hanya menguntungkan bagi kelompok sosial atas dan seolah memiliki kuasa yang besar dalam menghakimi baik-buruk kelompok rentan kelas bawah. Meski pada prinsipnya citizenship sejatinya menawarkan status atau hak universal yang harus dimiliki setiap orang.

Hal ini sangat penting bagi Indonesia yang kini menghadapi tekanan postmodern dan globalisasi yang telah mengaburkan antara hak dan kewajiban warga negara serta bentuk-bentuk demokrasi yang terkait untuk menegosiasi ulang dan me-reclaim, seperti yang ditegaskan Hoffman bahwa gagasan citizenship yang ada selama ini masih berfokus pada negara, bukan setiap orang atau individu (Hoffman 2004:2).

Baca Juga  Covid-19 Dan Kemanusiaan

Juga di sisi lain, akar hakikat dari kewarganegaraan adalah jaminan atas perlindungan legal dan politis dari kekuasaan koersif (Janoski dan Gran dan Isian dan Turner 2002:13). Tentu ini hendak menegaskan bahwa kewarganegaraan itu sendiri memberi tempat bagi minoritas yang tidak memiliki kekuatan besar dihadapan tirani mayoritas.

Logika Hoffman, Janoski pun Gran terangkum dalam perjuangan Hendrika, yang mengklaim kembali hak-haknya sebagai warga negara. Ia dengan gagah keluar dari keruwetan dan superioritas budaya patriarkal, melawan kuasa narasi-narasi yang diproduksi institusi agama lalu mengambil siasat untuk kemudian menjadi traspuan.

Kini seperti orang kebayakan, ia berhak mendapatkan kesempatan menjabati jabatan public sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Disini ia meyakini, tidak ada justifikasi apapun bagi eksklusif terhadap dia dari pemenuhan hak warga negara, karena dia seperti individu-individu seperti yang dikatakan oleh Hegel: citizen is a member of the state, maka Hendrika berhak mendapatkan apa yang didapatkan oleh warga negara yang lain.

Penciptaan Ruang Politik Baru

Ekslusivisme di ranah kewargaan sosial merupakan sebuah realitas yang memiliki jejak begitu lama. Klarifikasi terhadap identitas bersama dalam sejarah bangunan kewarganegaraan yang kemudian berkembang dalam kategorisasi, baik itu gender, identitas, bahkan status sosial yang tentunya bisa dibaca sebagai salah satu titik pijak terbentuknya ekslusivisme kewarganegaraan itu sendiri.

Pada intinya, ekslusivitas bermuara dari superioritas mayoritas terhadap mininoritas dalam suatu negara. Namun, dengan adanya diskursus kewarganegaraan yang inklusif, setiap warga negara harus memainkan perannya dalam proses politik, agar bisa menikmati kesetaraan yang beradab. Ruang baru bagi keterlibatan warga negara agar lebih aktif dan inklusif penting disediakan negara.

Baca Juga  Refleksi Filosofis Atas Covid-19 (1)

Penyediaan ruang baru tersebut bisa kita lihat saat ini dari kehadiran UU Desa N0.6 tahun 2014 yang tampak sebagai upaya penebusan atau – meminjam istilah Zkaria (2004:8) – sebagai ‘utang yang harus dibayar’ terhadap segala bentuk marginalisasi dan korporatisasi terhadap desa yang dilakukan melalui produk peraturan oleh rezim sebelumnya. Salah satu asas kunci yang dijadikan landasan pemikiran yang dipakai dalam UU ini yang mendudukkan desa dan mengatur relasinya dengan negara adalah ‘rekognisi’.

Pembicaraan tentang rekognisi ini selalu berkait erat kontestasi kewargaan (citizenship), yakni sebuah kontestasi atau perjuangan dari berbagai subyek politik untuk mengklaim legitimasi dan penegasan posisinya sebagai ‘bagian yang sah’ – claims for inclusion and belonging – dalam komunitas politik bernama ‘negara’.

Dalam konsepsi kewargaan modern, klaim posisi ini menjadi klaim yang sangat penting karena ‘kewargaan atau citizenship’ tidak hanya dipandang sebagai status legal semata; akan tetapi merupakan perjuangan kelas tertindas atau pun perjuangan yang dilakukan oleh komunitas, baik etnis, ras, gender ataupun kelompok-kelompok tertentu yang mengalami marginalisasi atau subordinasi dalam masyarakat untuk mendapatkan pengakuan/ rekognisi secara sosial – politik dan juga untuk mendapatkan distribusi ekonomi dari negara (Isin dan Turner, 2002).

Kehadiran Hendrika yang saat ini sebagai anggota BPD adalah upaya untuk merebut klaim atas dirinya pun kempok trasnpuan yang lain dihadapan komunitas politik bernama negara. (***)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0