= Catatan Akhir Tahun =
KRU sebuah televisi nasional Metro TV mendadak berkunjung di kediaman Pendeta Hanny Pantouw S.Th., yang berlokasi di Jalan Air Hidup Tateli Kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Rabu (28/12/2023).
Kedatangan para jurnalis handal tersebut sempat mengejutkan penghuni rumah dan orang-orang yang berada di lokasi tersebut sambil bertanya ada apa gerangan?
Setelah ditelusuri ternyata Rohaniwan Sulut yang dikenal juga sebagai pemimpin ormas adat terbesar di Indonesia bernama Laskar Manguni Indonesia (LMI) ini mendapat kepercayaan masuk dalam program “Tokoh Toleransi Nasional”.
Dalam sesi wawancara, rekam jejak toleransi selama ini dari sang tokoh agama yang menginspirasi itu terungkap. Bangkit dari dunia kelam di kota metropopitan, preman jalanan yang berlumpur dosa yang diangkat Tuhan menjadi seorang Pendeta Hanny ini, menjelma menjadi tokoh inspiratif. Ia tidak hanya sibuk mewartakan Firman Tuhan dan menyerukan toleransi di mimbar, tapi juga turun langsung ke tengah masyarakat menjadi penjaga dan perawat toleransi dan kerukunan di Sulut.
Teringat lalu dihadapan Wakil Menteri Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej di Hotel Four Points by Sheraton kota Manado, Kamis (03/06/2021), Pdt Hanny dengan tegas menyuarakan agar oknum intoleran dan radikal seperti Penceramah Ustadz Abdul Somad (UAS) dan Pendakwa Yahya Waloni segera ditahan karena sudah menjelek-jelekan dan menistakan agama Kristen dan Alkitab yang dianggapnya bisa meruntuhkan toleransi dan kerukunan yang sudah lama terbangun di Sulut dan Indonesia.
Bahkan jauh sebelum itu, kala ramai-ramainya ancaman teroris pada tahun 2012, Pdt Hanny dengan gagah berani menantang Santoso, sang Komandan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), sebuah kelompok teroris asal Indonesia yang beroperasi di wilayah pegunungan Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi, Sulawesi Tengah, untuk bertarung dengannya meski ia harus mati, karena ingin menjaga toleransi beragama di Sulut, yang berdekatan dengan Poso.
Jejak toleransi sang tokoh agama ini sesungguhnya berangkat dari kesadarannya bahwa meski Sulut sulit disulut karena toleransi yang terbangun sejak dulu, namun Indonesia merupakan sebuah negara besar berpenduduk 217 juta lebih, dengan 1340 suku, 800 lebih bahasa lokal, 300 etnis, 37 propinsi, 500 lebih kabupaten kota dan 17.500 pulau, sehingga berpotensi rusuh.
“Jika negara kita yang besar ini tidak dijaga dengan baik, jika keberagaman ini tidak dipelihara dengan sungguh-sungguh serta jika toleransi dan kerukunan tidak dirawat dengan baik, maka negara kita berpotensi rusuh. Kita tidak bisa menghapus keberagaman ini, tapi kita bisa menjaga dan merawat toleransi dan kerukunan diantara kita meski berbeda suku, agama, ras dan antar golongan,” ujar Pdt Hanny dalam setiap kessmpatan.
Ia menyebut, toleransi dan kerukunan dapat dirawat salah satunya lewat komunikasi yang baik yang selalu terbangun, dan itu harus dimulai dari diri kita sendiri.
“Saya percaya bahwa petunjuk Muslim sudah final yakni Alqur’an dan petunjuk Kristen sudah final yaitu Alkitab. Jalani saja agama kita masing-masing. Jadilah Muslim yang baik agar jika tetanggamu Kristen, dia bisa tidur nyenyak karena dia tahu di sebelahnya ada Muslim yang baik. Jadilah Kristen yang baik agar kalau tetanggamu Muslim, dia bisa tidur nyenyak karena dia tau disebelahnya ada orang Kristen yang baik,” ajaknya dalam banyak kesempatan.
Karena itu, Pendeta Hanny sangat intens berjumpa dan berdikusi dengan para imam, ustad, haji dan habib tentang toleransi dan kerukunan. Ia selalu memenuhi undangan menghadiri acara-acara keagamaan umat muslim di kota Manado dan sekitarnya.
Bahkan ia kerap masuk ke dalam masjid membaur dengan para tokoh dan umat muslim lalu didaulat “berkotbah” tentang toleransi dan kerukunan.
Pendeta Hanny juga aktif menggerakan organisasi LMI yang dibangunnya dalam semangat toleransi dengan kepengurusan lintas suku dan agama ini, untuk mengumpulkan dan menyalurkan bantuan sembako untuk umat muslim kala diterpa bencana alam dan Covid-19.
Tak jarang pula ia ikut menyumbangkan uang pribadinya untuk pembangunan sebuah masjid seperti di Langowan Minahasa dan sebuah tempat rohani umat muslim di Manado.
Di sisi lain, Pdt Hanny sosok yang responsif ketika terjadi potensi konflik SARA. Seperti yang terjadi di Minut ia langsung turun ke lokasi potensi konflik dan bersinergi bersama TNI / Polri menuntaskan konflik tersebut sehingga berakhir damai.
Ia selalu berdiri paling depan dan mempertaruhkan nyawanya demi menjaga tempat ibadah yang hendak digusur, sekalipun itu berdasarkan putusan pengadikan agama. Karena baginya tempat ibadah tidak boleh digusur karena itu bisa berpotensi SARA.
“Kalau mau eksekusi gereja tembak mati dulu saya. Saya siap jadi tumbal asal gereja tidak dieksekusi. Karena ini rumah Tuhan, rumah yang dipakai banyak orang untuk beribadah. Makanya mari kita duduk bersama carikan solusi agar penegakan hukum jalan tapi gereja tidak dieksekusi. Pada prinsipnya kami ormas adat cinta damai, tapi jika kalian paksakan eksekusi gereja kami siap mati,” demikian pernyataan yang selalu dilontarkan Pdt Hanny saat menghadang dan menggagalkan eksekusi pengadilan terhadap sejumlah gereja di Manado.
“Bukan cuma gereja, masjid pun kalau mau digusur saya lawan,” tegasnya.
Lalu ketika Bar Holywings Jakarta mempromosikan minuman keras (miras) yang diposting di akun instagram resmi yang bernuansa SARA, karena menawarkan minuman beralkohol gratis itu kepada mereka yang bernama Muhammad dan Maria, Pdt Hanny turun langsung memimpin LMI mendatangi Bar Holywings yang ada di Kawasan Megamas. Karena menurutnya, Muhammad bagi umat Muslim adalah utusan Allah dan nama Maria bagi umat Kristiani khususnya Katolik merupakan utusan Allah yang telah melahirkan Yesus Kristus.
“Ini nama-nama yang sakral dalam keyakinan agama Islam dan Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Ini agama-agama yang diakui negara kita. Maka, promo Holywings tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan melukai hati umat Muslim dan Kristen. Apalagi ini Manado yang berpredikat kota paling toleran di Indonesia. Ini jadi pelajaran kita semua bahwa yang mengganggu kebhinekaan kita, kedaulatan kita, toleransi kita, kita akan lawan,” katanya waktu itu saat bertemu Manager Holywings Manado.
Dan yang lebih mengejutkan ketika Pdt Hanny berani menyuarakan “Takbir” di masjid dan ruang publik kala menghadiri acara keagamaan bersama para tokoh dan umat muslim di kota Manado, sesuatu yang belum pernah dilakukan para hamba Tuhan yang bukan beragama Islam.
Dan teranyar, dalam rangka Hari Raya Natal, Pdt Hanny menggelar kegiatan tak lasim yakni bertajuk “Silahturahmi Dewan Pimpinan Pusat Laskar Manguni Indonesia Bersama Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulut Bapak H. Sarbin Sehe S.Ag, MPd. I , dan juga Tokoh – Tokoh Agama di Sulut”, di kediamannya.
Bukan cuma itu, ia bahkan menggeser jadwal acara silaturahmi tersebut demi memberikan kesempatan untuk umat muslim beribadah, bahkan ia sendiri bersama sang istri Maidy Palar menyiapkan tempat sholat dan air wudhu bagi umat muslim yang akan sholat di kediamannya. Sebuah teladan toleransi yang sangat penting, berharga dan indah di tengah keberagaman agama.
Rentetan jejak toleransi sang hamba Tuhan tersebut diperkuat dengan kesaksian dari Habib Sayyed Umar Allhabsyi yang hadir dalam acara silaturahmi tersebut.
“Saya selalu memanggil Pendeta Hanny Pantouw dengan sebutan Papi karena ingin membangun kekeluargaan dengan beliau. Beliau sosok yang luar biasa, sangat toleran. Dan perdana (yang pertama kali, red) malam hari ini saya menyaksikan umat muslim sholat di rumah pendeta (Hanny Pantouw),” ungkapnya dihadapan peserta silaturahmi.
Sang Habib pun mengaku sulit menemukan sosok toleran hamba Tuhan yang lain seperti Pdt Hanny.
“Makanya Papi ini Pendeta, mo cari dari ujung dunia dari timur sampai barat tidak ada pendeta yang mau duduk dengan habib, baca maulid, baca ratib sama-sama, takbir sama-sama. Cuma Pendeta Hanny Pantouw yang melakukan itu,” ujarnya.
Yang tak kalah menarik, di penghujung acara silaturahmi itu pula, seorang wanita berjilbab bernama Indry Noe tak ketinggalan memberikan kesaksian yang mengejutkan. “Dan saya juga mau bersaksi saya bersama suami yang beragama Islam tinggal serumah dengan Pendeta Hanny dan Bunda Maidy bertahun-tahun. Dan selama itu kami merasa sangat aman dan nyaman menjalani keyakinan iman kami meski berada di rumah seorang pendeta,” bebernya yang di acara itu bertindak sebagai MC.
Ucapan Indry Noe itu membuat penasaran banyak orang yang hadir sehingga jejakpublik.com pun mewawancarai wanita muslim itu. Dan terungkap di sana kesaksian yang bikin merinding.
Ia bercerita awalnya sebelum menikah suaminya Ol Heri Mamonto merantau dan bertemu Pdt Hanny di Jakarta (Waktu itu Pdt Hanny masih menjadi preman jalanan). Suaminya itu pun ditampung Pdt Hanny dan diperlakukan dengan sangat baik. Bahkan ketika Pdt Hanny pulang dan tinggal di Manado pada Tanggal 28 Februari 1997 Ol pun ikut serta dan tetap tinggal bersama Pdt Hanny.
Dua tahun kemudian (1999, red) ketika konflik bernuansa SARA pecah di Propinsi Maluku Utara, khususnya di Kota Ternate, orang tua dari suaminya itu kuatir dengan keselamatan anak mereka karena anak mereka tinggal bersama seorang pendeta. Namun ketika kekuatiran orang tua diutarakan Ol, Pdt Hanny dengan tegas menyatakan akan melindunginya.
“Pendeta Hanny bilang dia pastikan tidak akan ada yang akan menyakiti Oi. Selama Ol bersamanya Ol aman. Dan Pendeta katakan jika ada yang coba-coba ingin mengganggu Ol, akan berhadapan dengan Pendeta,” kata Indry.
Tak sampai di situ, Indry pun mengirim screenshoot berisikan statusnya di FB yang ditulisnya saat momen Hari Ulang Tahun Pdt Hanny kepada jejakpublik.com. Dipostingannya itu, Indry menulis kisah tentang Ol yang hendak melamarnya di rumahnya di Kampung Ternate Manado tahun 2002.
Kala itu Pdt Hanny dan Bunda Maidy menjadi walinya dan mendampingi Ol saat melamarnya dan bahkan membantu Ol memenuhi kebutuhan pernikahannya.
Di momen peminangan itu Pdt Hanny selaku utusan delegasi calon mempelai pria diterima langsung oleh pimpinan delegasi calon mempelai wanita Imam (Alm) Nune Mantau, Kasie Pendis Usran Mantow dan Kepala KUA Kecamatan Tikala Imran Mantau
“Momen itu di tahun 2002 di mana sejarah mencatat seorang pendeta berinteraksi dengan Imam memimpin hantaran belanja dalam acara hantaran/lamaran dan berlanjut sampai pada proses pernikahan. Dan itu menjadi kesaksian Pak Imam Alm. Nune Mantow yang mengatakan seumur umurnya ada pendeta datang maso minta,” tulis Indry menggambarkan tentang sosok Pdt Hanny di akun facebooknya yang dikutip jejakpublik.com.
Ia pun bersaksi tentang semangat toleransi yang dihidupi Pdt Hanny dan Bunda Maidy saat hidup bersama mereka berdua.
“Kurang lebih 25 tahun silam kami hidup bersamamu (Pdt Hanny, red) dan keluargamu, satu atap, satu dinding, dengan satu perbedaan yang sakral yaitu perbedaan aqidah namun bagi kami perbedaan itu adalah karunia, berbeda keyakinan tidak membatasi ruang gerak kami untuk ttp satu dlm bingkai silaturahmi,” tulisnya lagi.
Bukan cuma tinggal bersama. Indry mengaku dia dan suaminya diberikan pekerjaan oleh Pdt Hanny.
“7 tahun lalu kau (Pdt Hanny, red) diberkati dengan salah salah satu usaha Percetakan Paving dan Alhamdulillah/Puji Tuhan kau memberikan kepercayaan itu pada suamiku Ol Heri Mamonto mengolah usaha tersebut beserta dengan fasilitas kendaraan untuk keperluan pekerjaan proses pembuatan paving yang sampai dengan sekarang ini masih tetap berjalan dan atas kehendak Tuhan,” tulisan.
Hingga akhirnya Indry dan suaminya mengungkapkan kekaguman mereka tentang sosok Pdt Hanny.
“Bagi kami (Indry dan Ol, red) kau (Pdt Hanny Pantouw, red) bukan lagi pimpinan namun lebih dari itu, kau adalah orang tua, kau adalah saudara yang selalu dan senantiasa membimbing, menasehati, memotivasi kami. Kau adalah sosok pemberani, tangguh, motivator, toleran, nasionalis, dermawan, baik dan penyantun. Terima kasih atas segala kebaikan yang kau berikan yang telah kami rasakan selama bersamamu sejak masih seatap bahkan sampai saat sekarang ini. Tetaplah menjadi sosok yang akan selalu kami kenang di sepanjang hidup kami,” tulisnya lagi.
Dan di sela-sela acara silaturahmi tersebut, seorang tokoh Agama Islam Haji Sarbin Sehe S.Ag, MPd. I., memberi pengakuan yang tak kalah mengejutkan.
“Saya memang baru dua bulan mengenal Pendeta Hanny (Pantouw) tapi saya sudah mendengar, bertemu, berdiskus dan melihat langsung jejak toleransi dari Pdt Hanny. Dan saya berani berkata bahwa Pendeta Hanny adalah tokoh toleransi Sulut. Beliau adalah tokoh agama yang intens dan selalu setia menjaga dan merawat toleransi dan kerukunan beragama di Sulut.
Pria yang menjabat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulut ini tak ragu mengaku Pdt Hanny adalah sosok toleransi yang menginspirasi banyak orang, seorang tokoh moderasi beragama untuk Indonesia.
“Dari Sulut kita dorong agar Pdt Hanny dapat menjadi tokoh toleransi nasional, tokoh moderasi beragama Indonesia. Karena negara Indonesia butuh tokoh seperti Pendeta Hanny Pantouw,” tandas Haji Sarbin Sehe kepada jejakpublik.com.
Semoga! (Simon Gesimaking)
COMMENTS