Oleh: Ambrosius Loho, M. Fil.
(Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado – Pegiat Filsafat)
PERUBAHAN sebuah realitas, membuat manusia berpikir. Maka kapasitas berpikir seorang individu pun diuji, ketika dia berada dalam kondisi tersebut. Demikian halnya ketika mengalami musibah (baca: Perubahan), setiap individu akan mengerahkan seluruh tenaga, pikiran dan konsentrasi-nya, demi mencari latar belakang terjadinya musibah, meneliti mengapa musibah bisa terjadi, serta mencoba menemukan sekiranya ada solusi yang bisa digunakan, untuk mengatasi musibah yang dimaksud. Semua ‘stake holder’, ilmuan, pemikir bahkan pegiat dari berbagai latar belakang, bekerja keras untuk menemukan cara mengatasi masalah yang muncul.
Filsafat sebagai aktivitas rasional kritis, metodis, sistematik dan komprehensif, juga tidak tinggal diam. Terkini, dia berefleksi dan mencari substansi realitas covid-19, termasuk berangkat dari berbagai sudut pandang para filsuf yang pernah ada. Maka hal itulah yang cukup menggerakkan penulis untuk ‘mempublikasikan‘ tulisan ini, karena perspektif-nya yang filosofis, tajam dan kritis.
Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, covid-19 menyisakan tugas yang berat dalam semua bidang, termasuk bidang filsafat. Cara pandang filosofis yang akan diuraikan di sini berangkat dari beberapa poin penting yang dibahas dalam pertemuan pertama, Extension Course Filsafat (ECF) yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Unpar Bandung secara online. Pertemuan pertama, Jumat, 15 Mei 2020, mengambil judul “COVID-19: A Philosophical Reflection”, yang dipantik oleh Prof. Bambang Sugiharto.
Latar belakang Extension Course Filsafat ini diadakan karena untuk ukuran tertentu, covid19 dipandang sebagai sebuah kekuatan yang mencerabut kesadaran dan menggugah mood kita kepada sesuatu yang lebih besar. Artinya di masa pandemi ini kita disadarkan juga oleh sebuah kekuatan dari virus, yang tak kenal siapa pun untuk diserangnya. Maka dari itu, kegiatan ini cukup menambah wawasan kita tentang covid 19 dari perspektif filosofis.
Pertemuan pertama sangat menarik, karena mengangkat tema: “Hikmah COVID-19; Inspirasi Slavoj Zizek & Juval Harari”. Pemikiran filosofis dari kedua filosof ini tentu cukup mencengangkan, mengingat kita saat ini berada di tengah situasi yang cukup sulit. Apalagi sesuai amatan penulis, ide-ide Zizek & Harari cukup bisa menggugah cara berpikir dan cara berkesadaran kita yang berdasar akal sehat, dan tidak hanya berpijak pada teori-teori kurang logis. Kendati demikian, walaupu ada anggapan bahwa filsafat sering dibayangkan sebagai sesuatu yang berada di ‘menara gading’, dan sering pula dipandang cukup sulit untuk didaratkan, menjadi begitu mudah dipahami ketika diuraikan, terutama oleh kedua filsuf tersebut. Paling tidak, dunia ilmu pengetahuan secara khusus filsafat, berusaha untuk merefleksikan dari perspektifnya, bagaimana covid19 yang mewabah ini.
Apa yang paling penting dari teori Zizek & Harari? Sekurang-kurangnya beberapa uraian Sugiharto, dapat penulis garis bawahi. Pertama, situasi krisis ini memang ‘sangat tepat’ untuk menguji tingkat keadaban bangsa manusia, yang jika kita lihat, secara umum faktanya masih berada di level ‘survival’ paling rendah. Terutama bila krisis ini dipolitisasi, misalnya, hanya mencari kelompok sendiri yang akan dibantu, mencari keuntungan dalam kesempatan wabah covid19, seperti demi popularitas dan demi menaikkan pamor, maka saya membantu, kemudian, juga terciptanya sebuah kultur saling menyalahkan pihak tertentu, ketika ada pihak yang sebetulnya sudah berusaha mencari jalan keluar wabah ini, tapi karena situasi dan memang masih menunggu proses sebagaimana mestinya mengatasi virus ini, dan teranyar, adanya upaya mengimajinasikan berbagai konspirasi kendati tidak sesuai dengan faktanya. Sering munculnya pemberitaan yang tidak benar, karena ada motif-motif tertentu.
Kedua, krisis ini sekaligus peluang bersama yang amat penting, untuk naik ke level kesadaran nilai lebih tinggi yaitu: Kemampuan kerjasama global dalam kreativitas saling peduli, misalnya, semakin ‘mengibarkan bendera’ kepedulian kepada sesame, kendati tidak se-golongan, dlsb., Sugiharto menegaskan, sebaliknya bila krisis bersama ini dihadapi hanya dengan mental reptile, alih-alih keluar dari masalah, kita akan terperosok ke jurang penghancuran diri global yang konyol. Jadi harus ada upaya bersama untuk meningkatkan kesadaran, meningkatkan kewarasan dan berjalan sesuai dengan apa yang paling mungkin, yakni semakin banyak orang yang sungguh-sungguh dibantu dikala mereka mengalami masa sulit ini.
Ketiga, krisis ini memang saat nya kita belajar melihat orang lain sebagai sesama manusia saja, yang substansi-nya sama dengan kita, terlepas dari agama, bangsa, ras atau pun ideologinya. Dalam arti ini, kita perlu memahami bahwa upaya untuk bekerja bersama menangkal wabah, melalui kegiatan karitatif, menghindari, cara berpikir yang membeda-bedakan, sebaliknya saat inilah kita melihat sesama sebagai sesama yang sama dengan kita. Maka karena itu, dituntut tingkat kesadaran lebih tingi.
Keempat, dari pemikiran Zizek & Harari, mengingatkan pentingnya mempercayai sains. Mengapa, karena kini, kian nyata bahwa dalam berbagai krisis global ‘de facto’, yang paling bisa diandalkan memang sains, penalaran logis yang sifatnya public dan transparan. Di sini ditegaskan soal keyakinan teguh kita akan sains, karena sains ada di atas segala-galanya, terutama untuk menghadapi pandemi virus ini.
Akhirnya, pendekatan filosofis itu, dipandang cukup tajam dan kritis serta menyentuh cara berpikir, termasuk menyentuh ketergugahan individu, agar menyadari bahwa krisis yang diakibatkan oleh covid19, mampu diatasi dengan gerakan bersama, percaya pada sains, berpikir kritis, logis dan tepat sasaran. Demikian pun, berdamai dengan covid19 tidak saja berarti membiarkan virus itu terus menjangkiti semua orang, tetapi dengan nalar yang kritis dan logis, kita bisa memikirkan apa substansi dari “berdamai dengan covid19”. Salam filosofis. (*)
COMMENTS