MANADO, JP- Prosesi pernikahan sepasang kekasih Grandy Lucky Lukas Antonio SM., yang akrab disapa Grady dan Anastasia Oktaviani Salindeho SE., terbilang unik. Terlebih saat acara penyambutan kedua pengantin usai pemberkatan nikah di Gereja Katolik Yesus Gembala Baik Paniki Bawah Kecamatan Mapanget Kota Manado, Jumat (26/11/2021).
Pentauan jejakpublik.com, ketika memasuki lokasi resepsi kedua mempelai yang didampingi orang tua masing-masing Antonio Ferdinando dan Grace Olfia Polii, orang tua dari Grandy serta ibunda Tasia yakni Jesica Valencia Marius dan salah seorang anggota keluarganya mengingat sang ayah Jhony Arnold Salindeho, SE., telah meninggal dunia, disambut dengan tarian adat Maumere yang diiringi dengan musik bambu. Di mana tarian adat berada di depan rombongan pengantin sementara group musik bambu mengikuti dari belakang rombongan tersebut. Padahal biasanya tarian adat Maumere diiringi dengan musik gong khas NTT.
Selaim itu, kedua mempelai dan orang tua mereka mengenakan busana adat Maumere, Kabupaten Sikka Provinsi Sulawesi Utara, berupa sarung tenun dan kain selempang khas Maumere. Khusus mempelai pria ditambah dengan memakai kain ikat dari adat Maumere. Tak pelak, rombongan ini menyita perhatian warga yang berada di lokasi resepsi tersebut.
Tak sampai di situ. Setelah riba di bangsal nikah, depan rumah kedua mempelai mengikuti upacara adat yang dipimpin tokoh sekaligus sesepuh asal NTT di Sulut Johanis Jemmy, yang didampingi sejumlah pengurus Flobamora-NTT Sulut diantaranya Goris Peuhulu, Markus Kebung, Rafael, Simon Gesimaking, Laurens Reng, Eusebius Lewokelodo dan Robert Bati.
Dihadapan kedua mempelai sesepuh Johanes Jemmy melakukan ritual singkat dengan mengucapkan kata-kata adat Maumere lalu menyalakan lilin di atas kepala kedua mempelai lalu membakar kemenyan di hadapan kedua mempelai dan mereciki air kelapa kepada kepada kedua mempelai Grandy dan Tasia.
“Uhe lala die bui dan wawa hading nawang. Emai ebawo mai litin giit. Beli ami du ganu wangar. Bua bur du ganu wetan. Gae teto ganu atong. Litin watu mitan naha. Lepah bigen. Doe peli laban meran naha. Lepa bewar. Mai plipin ei kuwu itan. Buluk. Mai gon ei pang itan padak,” ucap Johanis dalam ritual adat itu.
Setelah itu, Grandy dan Tasia diminta masuk ke dalam rumah pertanda dimulainya membangun sebuah rumah tangga yang baru.
“Kalimat berbahasa adat Maumere tadi memiliki arti bahwa pernikahan Grandy dan Tasia juga direstui secara adat serta diberikan kekuatan dan kesehatan dari Tuhan dan beranak cucu. Lilin yang diberikan tadi bermakna harapan keluarga baru ini memberikan cahaya dalam kehidupan rumah tangga mereka. Dupa bermakna harapan semoga doa-doa kita untuk kebahagiaan kedua mempelai diterima Tuhan. Dan air kelapa bermakna bahwa rumah tangga kedua mempelai senantiasa sejuk dan damai seperti air kelapa,” jelas Johanis..
Digelarnya penjemputan dan ritual adat Maumere ini dikarenakan mengingat Grady dan Tasia meski lahir di Langowan, Minahasa dan Kota Manado; namun orang tua mereka berasal dari 3 etnis yang berbeda, yakni etnis Minahasa, ernis Sangihe dan etnis Flores.
Pernikahan Grandy dan Tasia dipuncaki dengan acara resepsi di Manado Grand Palace (MGP) Imperial di Jalan AA Maramis Kayuwatu, Kelurahan Kairagi Dua, Kecamatan Mapanget kota Manado..(JPc)
COMMENTS