HomeKolom & Interaktif

11 Tahun Kepergianmu Gus …

11 Tahun Kepergianmu Gus …

In Memoriam Gue Dur: Wafat 30 Desember 2009 Pkl. 18.45 WIB

Oleh : Wén Shì 文 士 (Ws) Sofyan Jimmy Yosadi, SH.
(楊 传 贤 Yáng Chuán Xián)

HARI ini, 11 tahun lalu, tepatnya hari Rabu, 30 Desember 2009 Pukul 18.45 WIB di rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, ketua Tim Dokter yg merawat Gus Dur yakni dr. Yusuf Misbah yang didampingi Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengumumkan meninggalnya Gus Dur panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia, Bapak Bangsa, Pahlawan, Bapak Pluralisme & Multikulturalisme, Bapak Tionghoa Indonesia …

Saya mengenal sosok Gus Dur pertama kali melalui tulisan-tulisannya di berbagai media massa Nasional, salah satunya artikel tentang Nurcholis Madjid, Amien Rais & Buya Syafii Maarif yang dimuat di majalah Tempo, pada bulan Maret 1992, dengan judul “Tiga Pendekar dari Chicago”. Sebagai komentator sepakbola Gus Dur piawai mengulas ajang Piala Eropa tahun 1988, 1992, hingga 1996 dan Piala Dunia 1982, 1986, 1990, 1994, dan 1998, Gus Dur mengulas berbagai seluk-beluk permainan sepak bola pada event besar itu di berbagai media massa nasional. Gus Dur mengulas sepakbola sama seriusnya seperti mengulas perihal pemikiran Islam moderat, kebudayaan ataupun problematika kebangsaan di koran nasional. Saat itu saya masih pemuda remaja, dan sepakbola adalah hobi yang saya sukai hingga saat ini. Ulasan Gus Dur tentang sepakbola hingga artikelnya diberbagai media massa, saya kliping dan tersimpan rapih.

Gus Dur lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur di rumah pesantren milik Kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri. Orangtua Gus Dur adalah KH. Wahid Hasyim dan ibunya bernama Solichah. kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti Gus Dur lahir pada 4 Sya’ban 1359 Hijriah, sama dengan 7 September 1940.

Kakek Gus Dur dari pihak ayah adalah KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan ulama terpandang, seperti halnya Kakek dari pihak Ibunya, Kiai Bisri Syansuri. Keduanya sangat dihormati di kalangan NU karena posisinya sebagai ulama besar juga karena peran mereka dalam mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) organisasi Islam terbesar di Nusantara. Ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama pertama di masa Presiden Soekarno (30 September 1945 – 14 November 1945) dan (20 Desember 1949 – 3 April 1952) Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman).

Ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim selain sebagai Ketua PBNU, juga Bapak Bangsa sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kakek dan ayah Gus Dur adalah Pahlawan Nasional.

Gus Dur terpilih sebagai Ketua PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) selama tiga periode (1984-1989, 1989-1994, 1994-1999).

Peristiwa bersejarah saat bulan Juli 1998 Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa dan pada tanggal 7 Februari 1999 PKB memutuskan Gus Dur sebagai calon Presiden. Saat masa-masa kampanye itulah saya bertemu Gus Dur pertama kali di Manado pada pertengahan tahun 1999. Di Hotel Novotel Manado (kini hotel Aryaduta) diadakan dialog antara Gus Dur dengan tokoh agama & tokoh masyarakat pada malam hari dan dilanjutkan keesokan harinya dialog serupa diadakan tapi khusus dengan tokoh-tokoh Tionghoa Sulut. Saya hadir pada dua kesempatan dialog tersebut bahkan saya mendapatkan kesempatan menyampaikan pertanyaan dan pendapat yang kemudian dijawab dengan lugas oleh Gus Dur.

Saat itu saya bertanya apakah yang akan dilakukan Gus Dur seandainya terpilih sebagai Presiden RI atau jika tidak terpilih sebagai Presiden berkaitan dengan eksistensi agama Khonghucu di Indonesia. Gus Dur menjawabnya dengan tegas dan seperti biasanya, sambil guyon “apapun keadaannya, saya tetap bersama umat Khonghucu. saya siap bela mati-matian agar umat Khonghucu bisa merasakan kebebasan beragama & beribadat di Republik ini”. Saat rehat ngopi dan berkumpul dengan teman-teman, saya masih ingat, saat itu didekati Pak Alwi Shihab yang menyapa dengan ramah sambil mengajak saya berdiskusi yang intinya beliaupun memberi dukungan bagi perjuangan umat Khonghucu. Kelak, Pak Alwi Shihab menjadi Menteri Luar Negeri dan ketua umum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Tiga tahun lalu (2017) kembali saya bertemu Dr. H. Alwi Shihab di Jakarta, paman dari Najwa Shihab ini menjabat Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Baca Juga  H-8 Tahapan Pilkada Serentak, Komisioner Bawaslu Terpapar Corona

Beberapa bulan kemudian, sejak bertemu Gus Dur di Kota Manado, pada tanggal 20 Oktober 1999 Gus Dur dilantik menjadi Presiden RI menggantikan Prof. Dr. BJ Habibie. Gus Dur menepati janjinya, langkah awalnya adalah dengan mencabut Inpres 14 tahun 1967 yang ditandatangani Presiden kedua RI Soeharto dengan menerbitkan Keppres 6 tahun 2000. Ada banyak kisah menarik soal ini. Pasca diterbitkannya Keppres yang mencabut Inpres 14 tahun 1967 yang ditandatangani Presiden Soeharto maka “keran kebebasan” bagi umat Khonghucu juga masyarakat Tionghoa telah dibuka oleh Gus Dur.

Sebagai aktivis generasi muda Tionghoa dan salah seorang yang turut berjuang bagi agama Khonghucu di Indonesia, saya beruntung bisa bertemu Gus Dur di Istana dan beberapa kesempatan lain.

Bagi kami umat Khonghucu, Gus Dur adalah sosok pelindung bagi kaum minoritas di Republik Indonesia. Gus Dur adalah bapak Pluralisme, Bapak Tionghoa Indonesia, Pahlawan dan Bapak bangsa. Ketika menjadi Ketua umum PBNU, tahun 1993 Gus Dur turut berjuang bagi umat Khonghucu dan memberi dukungan bagi pasangan suami istri yang beragama Khonghucu yakni Lani Guito & Budi Wijaya asal Surabaya yang menggugat Catatan Sipil Surabaya ke PTUN karena tidak mencatatkan pernikahan mereka. Gus Dur beberapa kali hadir dalam persidangan. Saya masih ingat saat itu saya mendukung perjuangan tersebut melalui tulisan saya di surat pembaca Majalah Tempo (6 November 1993).

Dalam beberapa kesempatan menjadi nara sumber seminar maupun menulis artikel di berbagai media massa, saya sering memberikan pernyataan dan pendapat serta klarifikasi atas kekeliruan dan kesalah-kaprahan yang menyatakan bahwa Gus Dur meresmikan agama Khonghucu di tahun 2000 saat menjadi Presiden RI keempat. Sesungguhnya, Gus Dur tidak meresmikan agama Khonghucu tapi memulihkan hak-hak sipil umat Khonghucu.

Agama Khonghucu sudah ada ratusan tahun di Nusantara, jauh sebelum Indonesia Merdeka. Beberapa bukti diantaranya adalah Peninggalan berbagai artefak dan rumah ibadat Khonghucu yakni Klenteng 廟 Miào (Bio) yang dibangun sejak ratusan tahun lalu di berbagai daerah di Nusantara.

Secara kelembagaan, embrio Majelis agama Khonghucu bermula pada tahun 1729, di Batavia telah berdiri Beng Seng Sie Wan 明诚书院 Míng chéng shūyuàn (artinya Taman belajar menggemilangkan iman) yang merupakan tempat belajar ajaran agama Khonghucu dalam dialek Hokkian. Shūyuàn 书院 ini berlokasi di kompleks Klenteng 廟 Miào (Bio) yang bernama Kim Tek Ie 金德院 Jīn dé yuàn yang didirikan sekitar tahun 1650, di daerah Petak Sembilan (sekarang, seputaran Glodok).

Pada tanggal 17 Maret 1900, di Batavia (Jakarta) berdiri sebuah lembaga yang bernama Tiong Hoa Hwee Koan 中華會館 Zhōnghuá huìguǎn yang dipelopori tokoh-tokoh Khonghucu, dengan Presiden THHK pertama bernama Pan Jing He (Phoa Keng Hek) dan sekretarisnya Chen Qin Shan (Tan Kim San).

Tujuan berdirinya Tionghoa Hwee Kwan 中華會館 Zhōnghuá huìguǎn adalah ingin memurnikan kehidupan keagamaan Khonghucu dan menghapus sinkretisme serta membangun lembaga pendidikan bagi anak-anak keturunan Tionghoa melawan diskriminasi pemerintah kolonial Belanda.

Akibat semakin tidak fokusnya arah Tiong Hoa Hwee Koan 中華會館 Zhōnghuá huìguǎn, maka diberbagai daerah kemudian bermunculan lembaga agama Khonghucu. Diantaranya, pada tahun 1918 berdiri Lembaga keagamaan Khonghucu yang bernama Khong Khauw Hwee 孔教會 Kǒng Jiào Huì di kota Solo. Kemudian menyusul beberapa tempat lainnya berdiri Khong Khauw Hwee 孔教會 Kǒng jiàohuì diantaranya di Bandung, Cirebon, Surabaya, Makasar, Malang, Semarang dan lain-lain.

Sofyan Jimmy Yosadi saat berkunjung di makam Gus Dur di Jombang. Jawa Timur.

Sejarah mula-mula berdirinya Lembaga Agama Khonghucu di Nusantara (Indonesia) dimulai dari Kongres Khong Khauw Tjong Hwee 孔教總會 Kǒng Jiào Zǒng Huì (Badan Pusat Agama Khonghucu) di Jokyakarta pada tanggal 12 April 1923.

Saat diselenggarakan Munas Ke XVIII MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) di Jakarta, saya yang terpilih sebagai ketua komisi A yang membahas AD & ART MATAKIN kemudian mengusulkan perubahan sejarah MATAKIN secara revolusioner dengan berbagai argumen tentang sejarah, budaya dan hukum hingga putusan Pleno Munas MATAKIN terjadi perubahan dari semula HUT MATAKIN dihitung sejak Kongres PKCHI (Perserikatan Kung Chiau Hui Indonesia) di Solo tahun 1955 dirubah dan dihitung sejak Kongres Khong Khauw Hwee 孔教总会 Kǒng Jiào Zǒng Huì di Jokyakarta tahun 1923. Berarti usia lembaga agama Khonghucu MATAKIN tahun 2020 ini adalah 97 tahun.

Baca Juga  Punya Kesamaan Gaya Politik, Audy Karamoy dan Prabowo Subianto Sama-sama Hadirkan Politik Riang Gembira, Ini Buktinya

Adapun Putusan Musyawarah Nasional (Munas) MATAKIN No. 006/MUNAS XVIII/MATAKIN/2018 dan dicantumkan dalam Anggaran Dasar MATAKIN Bab I Pasal 1 adalah : “Majelis ini bernama Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia atau The Supreme Council for Confucian Religion In Indonesia atau “Yìnní kǒng jiào zǒng huì (印尼孔教总会)” dan disingkat MATAKIN. Spirit Majelis ini berawal dari berdirinya Ming Cheng Shu Yuan tahun 1729 dan Tionghoa Hwee Kwan tahun 1900, Majelis ini mula-mula mengadakan kongres nasional pertama kali di Jogjakarta pada tahun 1923. Setelah kemerdekaan, Majelis ini mengadakan kongres kembali di Solo Jawa Tengah, Indonesia, pada tanggal 16 April 1955 (sebelumnya disebut Perserikatan Khung Chiau Hui Indonesia), untuk jangka waktu yang tidak terbatas”.

Agama Khonghucu sebagaimana amanat konstitusi dan UU No. 1 Pnps tahun 1965, dilayani oleh negara dan memperoleh bantuan pemerintah. Hal ini terjadi selama masa Bung Karno sebagai Presiden. Namun, ketika Presiden Soeharto dengan rezim orde barunya berkuasa justru melakukan diskriminasi terhadap agama Khonghucu terutama berbagai kebijakan politik hukum diantaranya menerbitkan Inpres 14 tahun 1967. Hambatan dan diskriminasi ini kemudian dicabut oleh Gus Dur ketika menjadi Presiden dengan menerbitkan Keppres No. 6 tahun 2000. Menyusul.kemudian beberapa regulasi yang sangat diskriminatif dicabut Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia. Gus Dur telah “membuka keran” hambatan & diskriminasi panjang. Gus Dur memulai era perayaan tahun baru Imlek Nasional yang diselenggarakan oleh MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia). Gus Dur hadir dalam perayaan tahun baru Imlek secara Nasional yang diselenggarakan MATAKIN. Bahkan menyatakan hari raya agama Khonghucu tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif.

Presiden RI berikutnya Megawati Soekarno Putri kemudian menerbitkan Kepres No. 19 tahun 2002 Perayaan Tahun Baru Imlek menjadi Hari Libur Nasional. Selanjutnya, MATAKIN terus berjuang hingga mulai tahun 2006 pemerintah melayani & memberi bantuan terhadap agama Khonghucu di masa Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Umat Khonghucu bisa mencantumkan agama Khonghucu pada kolom agama di KTP. Catatan Sipil mencatatkan perkawinan Khonghucu, murid & Mahasiswa Khonghucu mendapatkan pendidikan agama Khonghucu, dilayani di Kementrian Agama, ikut dalam kepengurusan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) diberbagai daerah, dll.

Jauh sebelumnya, setahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1946, Presiden Soekarno menandatangani Penetapan Pemerintah tentang Hari Raya, nomor 2/OEM-1946 ditetapkan hari raya bagi umat Khonghucu adalah tahun baru Imlek, Hari lahir Nabi Khongcu, Cheng Beng, Hari Wafat Nabi Khongcu.

Banyak yang mengklaim bahwa atas jasa merekalah Gus Dur mencabut Inpres 14 tahun 1967 hingga Perayaan tahun baru Imlek bisa dirayakan secara terbuka bahkan kebudayaan Tionghoa bisa kembali diekspresikan. Saya telah beberapa kali menulis di media massa diantaranya di koran Komentar Sulawesi Utara dengan judul “Gus Dur dan Tionghoa” yang merupakan penjelasan sejarah dibalik lahirnya Keppres 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres 14 tahun 1967.

Suatu ketika, di Istana Negara, Gus Dur menerima kedatangan tokoh-tokoh MATAKIN yakni Budi S. Tanuwibowo, Chandra Setiawan dan Bingky Irawan yang mengusulkan agar diadakan Perayaan tahun baru Imlek Nasional (Imleknas) dan disetujui Gus Dur sebagai Presiden, ada satu kendala yakni adanya Inpres 14 tahun 1967. Oleh Gus Dur langsung segera diproses dan dicabut Inpres buatan Soeharto tersebut. Hingga akhirnya MATAKIN mulai melaksanakan perayaan tahun baru Imlek Nasional hingga saat ini dan dihadiri Presiden RI Gus Dur dan diikuti kemudian oleh Presiden berikutnya.

Tahun 2000, saya beruntung bisa bertemu kembali dengan Gus Dur di istana Negara. Berkah Gus Dur kemudian berlanjut, saya bisa kembali berkunjung ke Istana Negara dan bertemu Presiden SBY tahun 2013 hingga beberapa kali bertemu Presiden Jokowi. Bahkan dua kali dalam Pilpres, saya menjadi bagian Relawan pusat tim pemenangan Capres Jokowi di tahun 2014 dan 2019.

Beberapa tahun belakangan, Saat menjalankan tugas profesi Advokat, bolak balik ke pulau Jawa dan berkesempatan menginap beberapa hari di kota Semarang Jawa Tengah, Saya selalu menyempatkan diri berkunjung ke tempat Perkumpulan Boen Hian Tong di kawasan Pecinan Semarang, salah satu perkumpulan Tionghoa tertua di Semarang. Uniknya, ada papan nama bertuliskan nama Gus Dur yang disembahyangi. Sayapun langsung menaikkan dupa, Diǎn xiāng 点香 Tiam Hio, mengucap syukur seraya menghormati Gus Dur.

Baca Juga  Pasar Pinasungkulan Diperketat, Begini Opsi Rekayasanya

Saat pelaksanaan Acara Perayaan Nasional Hari lahir Nabi Kongzi ke 2567 (9 Oktober 2016) merupakan berkah tersendiri bagi saya karena bisa duduk satu panggung dengan Istri Gus Dur Ibu Sintya Nuriah saat acara Kirab di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Kemudian saya bertemu kembali dengan Bu Sintya Nuriah di Karawang (11 Maret 2018) saat acara besar perayaan Capgomeh bersama acara kirab budaya “Ruwat Bumi” yang diselenggarakan tokoh-tokoh Khonghucu dan masyarakat Tionghoa Karawang Jawa Barat.

Tanggal 21 November 2016, saya bertemu dengan adik kandung Gus Dur, Ibu Lily Wahid di hotel Ibis Manado saat saya diundang pada acara Sarasehan Kepahlawanan sekaligus pelantikan Ikatan Keluarga Pahlawan Indonesia (IKPNI) Sulawesi Utara. Kami berdiskusi cukup lama. Tahun 2019 lalu, saat mengikuti acara di Jakarta saya bertemu puteri Gus Dur, Mbak Yenni Wahid. Kini, Mbak Yenni dipercayakan oleh Presiden Jokowi membantu Menteri BUMN Erick Thohir untuk tugas mulai “bersih-bersih” Kementrian BUMN.

Sebagai seorang lelaki, saya jarang menitikkan airmata apalagi sampai menangis. Namun, suatu ketika saat menonton acara Rosy di Kompas TV yang menayangkan kisah Gus Dur dan menghadirkan Istri dan anak-anak Gus Dur, sungguh membuat saya terharu dan menitikkan airmata. Sebagaimana juga hal yang sama tanpa saya sadari, menitikkan airmata saat Gus Dur dilengserkan dan meninggalkan istana Negara pada tanggal 23 Juli 2001 dengan mengenakan celana pendek, juga saat Gus Dur meninggal pada hari ini sebelas tahun yang lalu.

Saya yang sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Gus Dur, terus berusaha mengumpulkan buku-buku, dokumen, catatan serta berita apapun tentang Gus Dur dan membacanya seraya mengoleksinya di perpustakaan pribadi di rumah “Wale Papendangan Library”. Hingga sekarang, saya selalu antusias menerima undangan untuk memperingati Haul Gus Dur dimanapun. Saya selalu berusaha menyediakan waktu demi memenuhi undangan tersebut.

Gus, kami merindukanmu. Pemikiran dan gagasanmu tentang Republik ini, tentang Pluralisme dan multi Kulturalisme hingga perdamaian dan perlindungan bagi sesama manusia, sungguh masih banyak yang harus saya pelajari dan semoga anak-anakku dapat turut pula mempelajarinya Gus …

Gus, saya bersyukur, niat saya sudah kesampaian. Bertahun-tahun menahan hasrat untuk berkunjung ke makam di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang bahkan menuliskan status di facebook tiga tahun lalu (2017) tentang kerinduan berziarah kemakam sampeyan, akhirnya niat baik itu terlaksana.

Ketika sedang mengerjakan tugas profesi Advokat di pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur, di kota Tuban dan Surabaya serta Jakarta, tahun 2019 lalu, saya bisa berziarah ke makam Gus Dur sekaligus makam kakek dan ayah Gus Dur. Saya duduk bersimpuh dan berdoa menurut tatacara Khonghucu seraya berterima kasih kehadirat 皇 天 上帝 Huáng Tiān Shàng Di, Tuhan Yang Maha Besar Maha Kuasa ditempat Yang Maha Tinggi, karena anugerah-Nya hingga diberi karunia seorang Gus Dur dan Nahdlatul Ulama (NU) yang selalu menjadi penjaga negeri dan pelindung kaum minoritas …

Gus, dihari ini saat momentum 11 tahun wafat sampeyan, ada kejadian besar di negeri yang kita cintai Indonesia. Saya pernah mendengar dan menyaksikan langsung di salah satu media elektronik, sampeyan sendiri pernah mengusulkan hal ini …

Gus, terima kasih atas semuanya, “Legacy” sampeyan tidak akan terlupakan oleh saya dan semua orang yang mencintai negeri ini, mencintai keberagaman dan kebhinekaan.

君 子 之 德, 風 (风)小 人 之 德, 草 ; 草 上 之 風 (风), 必 偃
Jūnzǐ zhī Dé, fēng. Xiǎo rén zhī dé, cǎo ; cǎo, Shàng zhī Fēng, bì yǎn
“Kebajikan seorang pembesar laksana angin, dan kebajikan rakyat laksana rumput ; kemana angin bertiup, kesitu rumput mengarah” (Kitab Lún Yǔ 論 語 Sabda Suci Jilid XII : 19).

Tanah Minahasa, 30 Desember 2020
“Wale Papendangan Library”
Wén Shì 文 士 (Ws) Sofyan Jimmy Yosadi, SH.
(楊 传 贤 Yáng Chuán Xián)
*Dewan Rohaniwan MATAKIN 印 尼 孔 教 總 會 修 道 院 Yìnní Kǒng Jiào Zǒng Huì Xiū Dào Yuàn
*Ketua Bidang Hukum & Advokasi
MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) Pusat 印 尼 孔 教 總 會 Yìnní Kǒng Jiào Zǒng Huì “The Supreme Council for Confucian Religion In Indonesia”
*Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sulawesi Utara
* Ketua Komunitas Budaya Tionghoa Sulawesi Utara 万鸦佬华人文艺馆 Wàn yā lǎo huárén wényì guǎn. (*)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0