HomeKolom & Interaktif

Pasca Pandemi Covid-19, Akankah Sosialisme?

Pasca Pandemi Covid-19, Akankah Sosialisme?

 

Oleh : Joseph Epifianus
(Ketua PMKRI Cabang Merauke)

PANDEMI virus corona atau Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) muncul pertama kali di Wuhan, tepatnya Pasar Ikan Huanan, pada tanggal 31 Desember 2019. Sejak saat itu hingga tulisan ini dibuat 722.435 orang seluruh dunia terjangkit dan 33.997 orang meninggal seperti tercatat dalam CSSE John Hopkins University. Angka ini memang belum dinyatakan sangat tinggi. Coronavirus Disease atau Covid-19 adalah penyakit baru yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan radang paru. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Severe Acute Respiratori Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV-2). Gejala klinis yang muncul beragam, mulai dari seperti gejala flu biasa (batuk, pilek, nyeri tenggorok, nyeri otot, nyeri kepala) sampai yang berimplikasi berat (pneumonia atau sepsis). Covid-19 adalah penyakit baru dan para peneliti masih meneliti dan bagaimana cara penularannya. Dari berbagai penelitian, metode penyebaran utama penyakit ini diduga adalah melaui droplet pernapasan dan kontak dekat dengan penderita. Droplet merupakan partikel kecil dari mulut penderita yang dapat mengandung virus penyakit, yang dihasilkan pada saat batuk, bersin atau berbicara. Droplet dapat melewati sampai jarak tertentu (biasanya 1 meter). Droplet bisa menempel di pakaian atau benda di sekitar penderita pada saat batuk atau bersin. Namun, partikel droplet cukup besar sehingga tidak akan bertahan atau mengendap di udara dalam waktu yang lama. Namun, masyarakat diwajibkan untuk menggunakan masker kain yang menutupi hidung dan mulut untuk mencegah penyebaran droplet.

Upaya untuk memutuskan mata rantai penyebaran pandemi ini dilakukan dengan menutup akses masuk dan keluar di beberapa Negara termasuk di Indonesia. Tempat-tempat yang ramai kini menjadi kota hantu karena berbagai kebijakan karantina wilayah hingga penutup sekolah, sampai dengan perguruan tinggi menerapkan kuliah online dan kantor-kantor pemerintahan menerapkan Work From Home (WFH) dan pembatasan kegiatan yang melibatkan banyak orang.

Di Indonesia, berdasarkan data Badan Nasional Penangulangan Bencana dan media Kompas (20/04) tercatat 6.760 orang positif, 5.423 orang yang dirawat, 590 orang meninggal dunia dan 747 orang dinyatakan sembuh dari penyakit mematikan ini. Sebagai perbandingan, di Cina angka kematian akibat stroke (180.000 orang per tahun), serangan jantung (150.000), kangker paru-paru (60.000), jauh di atas angka kematian Covid-19 (3.308). Pembanding lain adalah benchmark kita untuk segala macam pandemi, yakni Wabah Hitam (Black Plague) yang merebak di Asia Tengah dan menjalar ke Eropa. Wabah yang bermula dari 1338 hingga 1351 ini dikenal dalam sejarah penyakit menular sebagai wabah paling mematikan: diperkirakan 75-200 juta orang mati akibatnya atau sekitar 30% populasi di tempat-tempat wabah itu berjangkit.

Dalam tulisan ini penulis menganalisa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sebagai dampak dari Covid-19. Semua ini hanya kemungkinan dan penulis tidak berpretensi mengklaim bahwa Sosialisme atau Barbarisme itu niscaya terjadi. Tujuan penulis adalah membayangkan keadaan dunia secara holistik yang mungkin pasca korona. Dengan demikian, tulisan hanya sebagai bentuk exercise in modality. Adapun judul tulisan yang diramuh oleh penulis didasarkan pada analisis yang mendalam.

Martin Suryajaya dalam artikelnya yang berjudul “Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona” seperti dikutip dari https://indoprogress.com (30/3) mengatakan bahwa setidaknya ada 4 (empat) kecenderungan ekonomi yang bisa dibaca gejalanya hari ini: de-industrialisasi de-finansialisasi, diskoneksi fisik, pelokalan global. Merepihnya modal akibat de-industrialisasi, de-finansialisasi, diskoneksi fisik dan pelokalan global inilah yang barangkali akan kita saksikan di bulan-bulan mendatang. Sementara kapitalisme dapat mengubah surat-surat menjadi barang berharga, Covid-19 dapat mengubah surat-surat berharga menjadi kertas. Dihadapan Covid-19 kapitalis tidak lebih dari pemilik tumpukan kerta karena seluruh aset fisiknya (pabrik, tanah dan sarana produksi lainnya) kembali menjadi potensi murni; potensi yang tidak bisa diaktualkan menjadi kekayaan selama Covid-19 memastikan dan memenjarakan fisik antarorang. Akhirnya, apa yang dimiliki kapitalis secara nyata adalah sertifikat atau kerta-kertas. Inilah revolusi diam yang sedang terjadi. Sebuah revolusi yang terjadi di setiap helaan nafas kita. Di masa Covid-19 ini, perbedaan ketakutan dan kemalasan menjadi begitu tipis: takut karena terjangkit Covid-19 dan malas bekerja bisa jadi merupakan dua sisi dari koin yang sama.

Di atas segalanya, Covid-19 mengajarkan kita bagaimana cara menjadi sosialis. Kita bisa membaca apa yang dilakukan oleh banyak negara untuk menasionalisasikan sektor-sektor yang terkait langsung dalam melawan Covid-19. Spanyol dan Irlandia menasionalisasikan semua rumah sakit swasta, Inggris menasionalisasikan industri perkereta-apian dan mempertimbangkan untuk menasionalisasikan juga seluruh sektor transportasi. Amerika Serikat hendak menasionalisasikan Boeing dan memulai pembicaraan tentang nasionalisasi seluruh produksi farmasi. Prancis hendak menasionalisasikan perusahaan-perusahaan strategis yang terdampak. Di mana-mana kita membaca trend nasionalisasi aset swasta dalam skala yang tidak pernah kita bayangkan sejak wabah neoliberalisme Reagan dan Tatche di decade 1980-an. Ketika sektor swasta semakin menjerit akibat de-industrialisasi, de-finansialisasi, diskoneksi fisik dan pelokalan global itu, maka mereka tidak lagi memiliki daya tawar di apa-apa dihadapan negara. Negara akan menjadi satu-satunya institusi perekonomian yang masih punya harga. Semua sektor swasta yang terdampak akan berbondong-bondong memohon bail out dari negara dan negara akan menjawabanya dengan nasionalisasi sebagian besar sektor industri manufaktur, pertanian, perkebunan, transportasi, kesehatan dan hiburan. Alhasil, tergenapilah sabda yang ada di dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Berkat Covid-19 kita akan bersungguh-sungguh mewujudkan sosialisme Indonesia yang terkandung dalam UUD 1945. Di negara-negara lain pun kurang lebih sama akan kembali menimbah dari pengalaman. Mereka yang belum pernah mengalami sosialisme akan belajar.

Baca Juga  Guru Hebat di Pedalaman Papua

Dunia akan kembali menjadi sebuah kemungkinan teoretis. Keempat kecenderungan ini akan berjalan beriringan dengan suatu tata ekonomi baru dunia dimana sektor swasta akan remuk dan satu-satunya kekuatan ekonomi yang signifikan adalah negara. Dengan begitu, sosialisme akan kembali menjadi pilihan bagi bangsa-bangsa yang hendak selamat secara ekonomi. Sosialisme, lanjut Martin, bukanlah satu ideologi ekonomi diantara pilihan ideologi lainnya. Justru sebaliknya, sosialisme hari ini adalah cara agar spesies manusia tidak punah. Tanpa itu, kita akan runtuh ke dalam kekacauan dunia pasca-apokaliptik seperti di film Made Max atau game Fallout. Dihadapkan pada Covid-19 pilihan kita adalah sosialisme atau barbarisme.

Keempat hal diatas yang diungkap oleh Martin adalah penunggang kuda kapitalisme yang tentunya bukan tanpa alasan. Pertanyaan yang menjadi refleksi kita bersama adalah bagaimana mungkin setelah Covid-19 akan mengarah pada sosialisme? Sosialisme dapat dilacak sejak peristiwa Revolusi Prancis tahun 1789 dan perubahan dibawanya, meski sebelumnya terdapat pergerakan dan gagasan yang sudah berkembang. Partai Buruh Australia adalah partai sosialis pertama di dunia yang terpilih dalam pemilihan umum negara bagian Queensland. Dalam paham sosialisme ini sangat menjunjung adanya pemerataan kemakmuran dan penghapusan kemiskinan. Oleh karena itu, sosialisme menentang adanya kesenjangan sosial, baik karena adanya sistem feodalisme maupun yang tercipta akibat adanya persaingan bebas. Paham ini berhubungan dengan hakikat manusia yang berhubungan dengan yang bukan sekadar untuk mendapatkan kebebasan, tetapi kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk saling tolong menolong.

Kemanakah Indonesia Akan Bergerak?

Gerak ke arah sosialisme bukan mimpi di siang bolong. Martin Suryajaya dalam artikelnya seperti dikutip dari http://indoprogress.com mengatakan”: dalam situasi Covid-19 seperti ini kita menjumpai ramainya kembali pembicaraan publik dunia tentang “Pendapatan Asasi Universal” (Universal Basic Income) merupakan sejumlah pendapatan yang diterima oleh warga negara sesuai haknya sebagai warga negara, dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok agar bisa hidup dan berkecukupan. Kemungkinan bagi Pendapatan Asasi Universal mulai ramai diperdebatkan sejak 2010, khususnya dari kalangan ekonom dan ilmuwan sosialis Kiri seperti Erik Olin Wright dan Philipe van Parijs. Karena pasca Covid-19, orang kehilangan lapangan pekerjaan, pembicaraan tentang perlunya pendapatan asasi universal menjadi semakin mendesak. Jika PAU tampak seperti mimpi di siang bolong, hari ini hal itu menjadi sebuah kemungkinan yang sangat dekat. Selama ini, orang kebingungan bagaimana negara bisa membiayai sistem PAU. Sekarang, dengan (akan) hancurnya sektor swasta dan nasionalisasi besar-besaran atas seluruh sarana produksi strategis, kebingungan penerapan PAU itu akan terjawab. Kalau semua sarana penting produksi dimiliki oleh negara, maka penggunaan kalimat “sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” itu dapat diwujudkan lewat PAU. Sampai disini, ada pertanyaan refleksi yang mesti kita jawab bersama jika Indonesia mengambil kebijakan yang diperdebatkan sejak tahun 2010 itu. Apakah Indonesia mampu secara ekonomi dengan memberikan universal basic income kepada 2,6 juta penduduknya?

Hal sebaliknya dapat saja terjadi. Covid-19 dan dampaknya membawa kita pada krisis ekonomi, politik dan keamanan yang tak terbayangkan sebelumnya. Ditandai dengan adanya pecah kongsi elit politik dalam negeri. Dalam situasi krisis ekonomi dan pergolakan sosial seperti hari ini, kartu penentu politik ada di tangan oposisi. Skenario terburuk, kekuatan politik dari luar pemerintahan dan membajak gerakan rakyat yang lapar dan marah tak percaya pada negara. Hal ini disebabkan karena dalam situasi krisis persekutuan politik diuji dengan memberi insentif bagi pembaharuan konsensus dan konsesi ekonomi – politik baru diantara kekuatan politik. Belajar dari pengalaman global terkini, Indonesia perlu waspada terhadap tiga kecenderungan jahat yang muncul dan membajak pandemi ini. Kecenderungan ini sudah mulai muncul di beberapa negara termasuk di Indonesia.

Pertama, atensi terhadap penanganan medis yang berlebihan tidak diimbangi dengan pendekatan pola hidup sehat yang menekankan ketahanan pangan. Cara berpikir keutamaan sektor medis menyebabkan sektor-sektor strategis penunjang kesehatan tubuh dan ekonomi masyarakat menjadi terbengkalai. Belum terhitung di dalamnya korupsi dalam pemberian anggaran untuk menangani pandemi ini. Kekeliruan ini akan menjadi insentif bagi politis-pengusaha dan birokrat melemahkan kedaulatan pangan dan sibuk mengurus impor bahan makanan pokok untuk membiayai partai politik, perusahaan dan kerabatnya sendiri. Dengan demikian, kebijakan tidak saja menyehatkan penderita Covid-19, tetapi secara masal, atau dalam jumlah yang sangat besar, menyebabkan kelaparan dan kematian di belakangnya.

Baca Juga  Bersahabat Dengan Corona

Kedua, pemiskinan berlanjut terhadap kelas pekerja, petani, sektor informal. Sudah muncul debat kebijakan global bahwa penanganan pandemi dengan isolasi dan lock down tak terbatas atau terus diperpanjang, adalah bentuk baru Global War on the Poor, perang terhadap orang miskin. Sektor produktif dimatikan atau perlahan-lahan diubah agar terintegrasi ke dalam tentakel korporasi pangan, suplemen makanan, minuman dan obat-obatan yang dikuasai oligarki global dan antek-anteknya di dalam negeri.

Ketiga, sekuritisasi terhadap dampak sosial dan politik. Dalam debat publik dunia, pengerahan instrumen kekerasan negara mulai diterapkan. Di Indonesia, kecenderungan ini mulai mengemuka. Suara rakyat terjebak antara kelaparan dan terpapar Covid-19, belum mendapat perhatian serius oleh pemerintah dan protes sosial harus dibungkam atas nama penularan Covid-19. Sekaligus menjadi lelucon bagi kelas menengah bergaji dan tak keberatan bekerja dari rumah untuk urusan kantor dan perusahaan.

Berdasarkan analisis penulis, ketiga kecenderungan diatas harus diperiksa ketika pandemi dan dampak sosial ekonomi masih terkendali saat ini. Patut dicatat, sebelum Indonesia mengumumkan adanya pandemi Covid-19, sudah muncul ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Mulai dari revisi UU KPK, RKUPH, korupsi di BUMN seperti Jiwasraya, Pertamina, Garuda Indonesia dan masih ada yang terus diperdebatkan publik yaitu Omnibus Law. Tentu saja, risiko pencegahan pandemi mematikan ekonomi dan meningkatkan jumlah pengangguran di kota dan di desa. Karena disadari stimulus fiskal yang tersedia tidak bisa mencegah kemiskinan, keputusasaan dan kekecewaan masyarakat. Pengelolaan stimulus yang amburadul, tidak transparan dan berdampak, hanya akan memperburuk kondisi psikologis puluhan juta rakyat Indonesia yang terdampak.

Bergerak ke Arah Sosialisme Bukan Sekedar “Omong Kosong”!
Sejarah sosialisme dapat dilacak sejak peristiwa Revolusi Prancis 1789 dan perubahan yang dibawahnya, meski sebelumnya terdapat pergerakan dan gagasan yang sudah berkembang. Partai Buruh Australia adalah partai sosialis pertama di dunia yang terpilih dalam pemilihan umum negara bagian Queensland. Sosialisme berasal dari kata ‘socius’ yang artinya masyarakat. Sosialisme adalah paham yang dibentuk dengan tujuan untuk memakmurkan masyarakat yang kolektif dan produktif dengan membatasi hak milik perseorangan. Menurut Gerald Braunthal, sosialisme merupakan suatu teori ekonomi dan politik yang menekankan pentingnya peranan komusial dan pemerintah dalam menguasai alat-alat produksi dan distribusi barang. Paham sosialisme ini muncul setelah terjadinya revolusi industri di Inggris yang telah menyebabkan terjadinya ketimpangan antara golongan borjuis (majikan) dan golongan proletar (buruh). Beberapa tokoh yang sangat gigih memperjuangkan perkembangan paham sosialisme antara lain: Karl Marx (1818-1883), sebagai pelopor utama gagasan “sosialisme ilmiah”, Frederich Engel (1820-1895), C. H. Saint Simon, (1760-1825), F. M. Charles Fourier (1772-1837), Etinne Cabet (1788-1856), Wilhelm Weiling (1808-1871) dan Louis Bland (1811-1882).

Setiap kali kita berbicara mengenai melawan kapitalisme, kita hampir selalu mendengarkan kata sosialisme didengungkan sebagai alternatif kapitalisme. Namun banyak sekali penfasiran yang keliru mengenai sosialisme. Salah satu penafsiran yang keliru adalah negeri-negeri Skandinavia yang sering dirujuk sebagai model sosialisme. Di sana pendidikan dan pelayanan kesehatan diberikan secara gratis. Berbagai tunjangan sosial tersedia bagi rakyat. Intinya, negara memainkan peran yang dominan dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya – dalam apa yang disebut negara kesejahteraan – dan ini lalu dianggap sebagai sosialisme. Namun, pada kenyataannya apa yang ada di Skandinavia bukanlah sosialisme. Perdana Mentri Denmark sendiri pernah mengatakan bahwa “Denmark sangatlah jauh dari perekonomian sosialis yang terencana. Denmark adalah sebuah ekonomi pasar (baca: Kapitalisme)”. Yang membedakan antara kapitalisme dan sosialisme bukanlah tunjangan-tunjangan sosial seperti pendidikan gratis. Sosialisme sebagai ekonomi akan menjamin kebutuhan dasar semua rakyatnya lewar program-program sosial tetapi ini tidak berarti semua rezim pendidikan gratis adalah rezim sosialis. Perbedaan fundamental antara kapitalisme dan sosialisme adalah modus produksi yang berlaku. Dibawah kapitalisme tuas-tuas ekonomi dimiliki oleh segelintir orang, yang disebut kapitalis atau borjuasi. Mayoritas lainnya yakni kelas buruh, yang tidak memiliki modal dan lantas bekerja untuk sang kapitalis dengan imbalan upah. Lewat kepemilikan dan kendali kaum kapitalis atas alat produksi, mereka meraup profit besar dengan mengupah buruh serendah-rendahnya sementara memaksa buruh bekerja sekeras mungkin. Apa yang diterima buruh jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang sebenarnya mereka hasilkan melalui keringat mereka. Inilah sumber eksploitasi dibawah kapitalisme.

Dalam sebuah karyanya “Hasil dan Prospek” (1960) Leon Trotsky, memberikan gambaran umum dialektika perkembangan syarat-syarat untuk sosialisme. Adapun syarat-syarat yang sosialisme yang dimaksud oleh Trotsky untuk mencapai sosialisme diantaranya: teknologi-produksi, sosial-ekonomi, kediktatoran proletariat. Merujuk pada pemikiran Trotsky di atas, apakah sosialisme bisa diberlakukan di Indonesia? Bagaimana kapitalis bersedia menerima syarat-syarat diatas dengan segala konsekuensinya? Penulis mencoba menganalisasis point-poin sosialisme menurut Trotsy berdasarkan urutannya yang semakin kompleks. Pertama, sosialisme bukan hanya mengenai distribusi yang merata, tetapi juga produksi yang terencana. Syarat objektif dari syarat pertama sudah lama eksis semenjak pembagian kerja secara sosial memunculkan pembagian kerja di pabrik-pabrik manufaktur. Syarat ini telah terpenuhi bahkan lebih sempurna semenjak manufaktur digantikan dengan mesin-mesin produksi. Perusahaan-perusahaan besar menjadi semakin unggul, yang juga berarti bahwa sosialisasi perusahaan-perusahaan besar ini akan membuat masyarakat lebih makmur. Kedua, Bila kita memiliki sebuah masyarakat yang tidak terpecahkan oleh antagonisme kelas, tetapi justru sebuah komunitas yang homogen yang secara sadar memilih bentuk ekonominya, maka kalkulasi Atlanticus niscaya akan cukup untuk memulai konstruksi sosialisme. Di sini, kepentingan-kepentingan yang bertentangan akan saling berbenturan. Apa yang menguntungkan bagi satu pihak adalah tidak menguntungkan bagi pihak yang lain. Keegoisan satu kelas tidak hanya merugikan keegoisan kelas yang lain, tetapi juga merugikan seluruh komunitas. Oleh karena itu, untuk merealisasikan sosialisme, kita membutuhkan sebuah kekuatan sosial – dari kelas-kelas antagonistik di dalam kapitalisme – yang berminat untuk merealisasikan sosialisme karena posisi objektifnya; dan yang cukup kuat untuk mengatasi kepentingan dan perlawanan musuh. Ketiga, Politik adalah sebuah arena dimana syarat-syarat objektif sosialisme bersinggungan dengan syarat-syarat subjektif sosialisme. Di bawah kondisi-kondisi sosial-ekonomi tertentu, sebuah kelas secara sadar merangkul sebuah tujuan – yakni perebutan kekuasaan politik; ia menyatukan kekuatan-kekuatannya, mengukur kekuatan musuhnya dan mengukur situasi. Bahkan di dalam syarat ketiga ini, kaum proletar tidaklah sepenuhnya bebas. Selain faktor-faktor subjektif – kesadaran kelas, kesiapan, dan inisiatif, yang perkembangannya mempunyai logikanya tersendiri – kaum proletar dalam melaksanakan kebijakannya akan dihadapkan dengan faktor-faktor objektif seperti kebijakan kelas penguasa dan institusi-institusi negara (seperti tentara, sekolah, dan gereja), hubungan internasional, dan sebagainya. Penulis akan membahas pertama-tama kondisi subjektif: kesiapan kelas proletar untuk revolusi sosialis. Tentu saja, tidaklah cukup kalau tingkat teknologi sudah membuat ekonomi sosialisme lebih unggul dari sudut pandang produktivitas tenaga kerja sosial. Juga, tidaklah cukup kalau diferensiasi sosial yang berdasarkan tingkat teknologi ini telah menciptakan kelas proletar yang merupakan kelas utama karena jumlah dan peran ekonominya, dan yang secara objektif tertarik pada sosialisme. Kelas ini juga harus sadar akan kepentingan-kepentingan objektifnya; kelas ini juga harus memahami bahwa tidak ada jalan keluar baginya kecuali melalui sosialisme; kelas ini juga harus bersatu di dalam sebuah pasukan yang cukup kuat untuk menaklukkan kekuasaan politik di dalam perang terbuka.

Baca Juga  Kepercayaan Akan Adanya Tuhan

Dalam ideologi sosial atau sosialisme ekonomi bersifat kolektif yang dapat membawa keadilan bagi seluruh masyarakat untuk mencapai keadilan seperti yang tertuang dalam sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Jika pasca pandemi Covid-19 Indonesia bergerak kea rah sosialisme, setidaknya memperhatikan ciri-ciri, kelebihan dan kekurangan sosialisme: Adapun ciri-ciri sosialisme antara lain: Pertama, paham sosalisme tidak mengenal adanya kelas yang kaya atau miskin, sehingga ada tidak ada yang disebut majikan maupun buruh karena semua memiliki kesamaan hak. Kedua, menciptakan masyarakat yang dapat saling bekerja sama dan memupuk solidaritas dengan hak-hak yang sama. Ketiga, sosialisme memiliki prinsip-prinsip kesederajatan dan pemerataan hak bagi masyarakat. Dalam hal keagamaan, paham sosialisme terpengaruh oleh pemikiran ajaran agama bahwa manusia itu wajib tolong menolong antar sesama. Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan cara damai dan demokratis. Dalam hal politik, paham sosialisme beranggapan bahwa adanya negara sangat diperlukan untuk membina dan mengkoordinir kebersamaan masyarakat. Keempat, menolak kapitalisme dan menghapuskannya dengan cara kaum buruh bersatu untuk memperjuangkannya. Menolak kebebasan penuh karena cenderung berpihak kepada kepentingan hak milik. Sosialime adalah salah satu ideologi yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah rasa solidaritas dan kebersamaan dalam gotong royong yang sangat tinggi antar masyarakat. Adanya pemerataan sosial, sehingga tidak terjadi kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sedangkan kekurangan sosialisme adalah setiap individu sulit mengembangkan diri karena paham ini mementingkan kebersamaan dan gotong royong, sehingga tidak ada waktu untuk setiap individu untuk berkembang. Dengan adanya solidaritas yang tinggi tersebut, terkadang hak asasi manusia diabaikan demi kepentingan bersama. Bila sosialisme bertujuan untuk menciptakan sebuah tabiat manusia yang baru dalam batasan sistem kemasyarakatan yang lama, maka sosialisme tidaklah lebih dari utopia moralis tipe baru. Sosialisme tidak bertujuan untuk menciptakan sebuah kesadaran sosialis sebagai sebuah syarat untuk menciptakan sosialisme, tetapi sosialisme bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi kehidupan sosialis sebagai syarat untuk membentuk kesadaran sosialis. (*)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0