Matius 11: 25-30.
“Pada waktu itu berkatalah Yesus: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya. Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.”
Introduksi
Yesus mengucap syukur kepada Bapa di Surga karena mewahyukan kebijaksanaan dan pengenalan akan Allah, kepada orang-orang yang mengikuti-Nya. Doa Yesus dalam Injil ini memberikan kepada kita beberapa pemahaman. Pertama, Allah adalah Bapa sekaligus Tuhan atas surga dan dunia. Dialah Pencipta dan sumber dari segala yang ada. Kekuasaan, kebijaksanaan dan pemeliharaan yang berasal dari kemurahan hati-Nya, meluas sampai kepada segala sesuatu, serta cinta dan kebaikan-Nya yang tak terbatas bertujuan menyejahterakan setiap pribadi yang diciptakan-Nya seturut citra-Nya. Dialah sumber kehidupan segenap anak manusia. Itulah sebabnya, segala kebapaan dan keibuan berasal dari Dia (Ef 3: 14-15).
Kesombongan – akar dari dosa
Doa Yesus dalam Injil ini, muncul sebagai “kebijaksanaan ilahi” yang berlawanan dengan “kebijaksanaan dunia”. Doa Yesus ini, secara implisit menjadi suatu awasan bagi kita bahwa kesombongan dapat memisahkan kita dari cinta dan pengenalan akan Allah. Apa yang membutakan kita terhadap kebijaksanaan dari Allah? Jelas, itulah kesombongan intelektual, kedinginan hati dan sikap keras kepala, yang menutup pintu kepada Allah dan aturan-Nya yang bijaksana serentak pemeliharaan penuh kebapaan bagi kehidupan pribadi kita. Kesombongan adalah akar dari segala kejahatan dan ketidakbebasan serta merupakan pengaruh paling kuat yang mendorong kita kepada dosa melawan Allah dan melakukan kesalahan kepada sesama.
Dosa kesombongan menaklukkan hati, membuatnya menjadi dingin dan acuh tak acuh kepada Allah. Kesombongan juga menutup akal pikiran kita kepada kebenaran dan kebijaksanaan Allah yang sangat diperlukan untuk kehidupan kita. Lalu, apa cacat yang ditimbulkan kesombongan? Cacat itu adalah adanya cinta yang tidak teratur dari diri sendiri dengan mengorbankan orang lain dan penghargaan yang terlalu tinggi terhadap kemampuan diri, kekuasaan, kepentingan dan penempatan diri di atas orang lain.
Kesederhanaan dan kerendahan hati
Yesus memperhadapkan kesombongan dengan kesederhanaan seorang anak dan kerendahan hati. Hati yang rendah dan sederhana itu seperti “anak kecil”, dalam artian bahwa anak-anak melihat segala sesuatu secara polos dan sederhana tanpa alasan atau cacat apapun.
Mereka secara instingtif mengetahui ketergantungan total kepada orang lain – secara khusus kepada mereka yang dapat mendidik mereka dan membentuk mereka agar hidup kuat, sehat dan matang. Tak ada yang dapat bertumbuh di dalam kebijaksanaan dan kematangan kecuali kalau mereka memiliki kehendak yang sukarela untuk dididik dan dibentuk dalam hal bagaimana dapat hidup secara bijaksana dan membedakan apa yang baik dan jahat, benar dan salah.
Kesederhanaan hati memiliki kaitan erat dengan kerendahan hati – ratu dari segala kebajikan, yang membuat seseroang mampu melupakan diri agar dapat mencintai orang lain demi kebaikan mereka. Kerendahan hati adalah kebebasan yang paling bebas. Sikap yang mengosongkan diri dari kesombongan dan rasa ingat diri membuat mereka dapat fokus kepada kesejahteraan sesama. Yesus, Tuhan adalah teladan kita. Ia mewartakan kepada para murid-Nya bahwa “Aku lemah lembut dan rendah hati (Mat 11:29). Yesus datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberi kehidupan kepada orang banyak (Mat 20:28). Kelembutan Yesus bukanlah kelemahan atau ketidakberdayaan. Kelembutan Yesus adalah “kekuatan yang terkontrol” yang digunakan demi pelayanan untuk kebaikan dan bukan untuk kejahatan.
Yesus merendahkan diri-Nya sendiri untuk mengangkat kita keluar dari kemalangan dan perbudakan dosa agar kita dapat bangkit kepada kemuliaan Sang Putra dan Bapa. Yesus datang bukan untuk menghancurkan yang lemah melainkan untuk menyembuhkan; Ia datang untuk mengampuni dan bukan untuk mengutuk; Ia membaharui kita kepada kehidupan yang berlimpah-limpah dengan mengalahkan dosa, Setan dan maut. Kerendahan hati-Nya adalah ungkapan cinta kepada Bapa Kekal sekaligus setiap kita, agar kita boleh mengikuti teladan kerendahan hati-Nya. Yesus menunjukkan kepada kita jalan benar kepada cinta dan kemenangan, kebebasan dan sukacita.
Kerendahan hati sejati, yang menjadi lawan dari “kesopanan palsu” atau rasa bersalah kepada diri sendiri, membebaskan kita untuk mengusahakan apa yang baik, suci dan benar. Alkitab mengatakan kepada kita bahwa Allah menentang kesombongan, namun memberkati orang yang rendah hati (Amsal 3:34, Yak 4: 6). Hanya orang yang rendah hati, dapat menerima kebijaksanaan yang datang dari Allah dan pemahaman akan kebaikan Allah yang maha sempurna, yang merancang hidup kita.
Hadiah terbesar dari mereka yang mengusahakan “kesejahteraan umum” atau “summum bonum” adalah hidup satu dengan Allah, sumber segala kedamaian, sukacita dan kebahagiaan yang berlangsung selama-lamanya.
Mengenal Allah secara personal
Yesus membuat suatu klaim yang tak seorang pun dapat melakukannya. Dialah revelasi sempurna dari Allah sebab Ia telah ada bersama Bapa sebelum segala sesuatu diciptakan dan sebelum adanya waktu. Yesus dan Bapa disatukan dalam suatu ikatan cinta dan kepaduan yang tak dapat dipisahkan. Itulah sebabnya, Yesus sendirilah yang menjadi pewahyuan pikiran dan hati Allah dan tujuan dari hidup kita.
Salah satu dari kebenaran terbesar pewahyuan Allah dan iman kristiani adalah bahwa kita dapat mengenal Allah yang satu dan yang hidup. Pengenalan kita akan Allah tidak terbatas begitu saja kepada mengetahui sesuatu tentang Allah dan kodrat-Nya, melainkan kita dapat mengenal Allah sebagai Bapa kita dan Pencipta kita secara personal lantaran Allah Sang Bapa kita, menghendaki agar kita bersatu erat satu sama lain dalam ikatan cinta Sang Putra, Yesus Kristus.
Melalui Yesus Kristus kita dapat sampai kepada Allah Bapa
Melihat Yesus Kristus, Tuhan adalah mengenal dan mengetahui kodrat Allah sesungguhnya dan cinta pribadi Allah kepada kita. Dalam Yesus kita melihat cinta Allah yang sempurna – seorang Allah yang memelihara kita secara intens dan yang rindu akan setiap pria dan wanita ciptaan-Nya. Allah Bapa mencintai kita bahkan ketika kita masih tersesat dalam kebutaan dosa dan kesombongan. Ia mengutus Putra-Nya yang tunggal, Tuhan kita Yesus Kristus, yang dengan bebas penuh sukarela menyerahkan hidup-Nya bagi kita di kayu salib sebagai korban penebusan dosa-dosa kita (Yoh 3: 16). Rasul Paulus mengatakan kepada kita bahwa Yesus adalah gambaran Allah (Kol 1:15). Dialah revelasi sempurna dari Allah, Allah yang mencintai kita secara total, tanpa syarat dan tanpa menuntut balasan.
Yesus membuat suatu janji yang luar biasa kepada siapa saja yang mengakui-Nya sebagai Tuhan dan Penyelamat. Jika kita berdoa di dalam nama-Nya, nama Yesus berarti Allah yang menyelamatkan, maka Bapa di Surga akan mendengarkan kita sama seperti Ia mendengarkan Putra-Nya sendiri. Itulah kesatuan, berkat dan janji yang diberikan kepada setiap kita. Itu juga yang menjadi keyakinan dan keberanian bagi kita untuk mengucapkan doa yang Yesus ajarkan sendiri kepada kita, “Bapa Kami yang ada di Surga, …..berilah kami rejeki pada hari ini, dan ….bebaskan kami dari segala pencobaan…”.
Kuk Yesus yang manis
Apa yang dimaksud dengan kuk di dalam Injil ini? Orang Yahudi menggunakan gambaran sebuah kuk untuk mengekspresikan ketaatan kepada Allah. Mereka membicarakan tentang kuk dari hukum dan aturan, kuk Sepuluh Perintah Allah, kuk Kerajaan Allah dan kuk dari Allah. Yesus katakan bahwa kuk dari-Nya itu “enak”. Dalam Bahasa Yunani, kata “enak” juga berarti “pas sekali”. Kuk adalah kayu lengkung yang dipasang dengan pas di tengkuk lembu. Kita diperintahkan untuk memakai “kuk Yesus yang manis” dan menghidupi cara hidup surgawi.
Yesus juga mengatakan tentang “beban yang ringan”. Ada sebuah kisah. Seseorang bertemu dengan seorang bocah laki-laki yang sedang memikul seorang anak cacat di pundaknya. “Kasihan, anda sedang membawa beban berat”. Kata orang itu. Bocah itu menjawab: ”Hei…ini tidak berat. Dia ini adalah saudaraku”. Sambil terus memanggul saudaranya yang cacat, bocah itu berjalan tersenyum. Ia tidak melihat saudaranya yang cacat sebagai beban berat lantaran kasih dan cintanya. Tak ada beban yang terlalu berat ketika beban itu dipikul dalam cinta.
Yesus menawarkan kepada kita suatu kerajaan yang baru; suatu kerajaan kebenaran, damai dan sukacita. Dalam Kerajaan-Nya, dosa-dosa tidak saja mendapat pengampunan, bahkan dihapus dan kehidupan abadi dilimpahkan kepada segenap orang. Kerajaan Allah yang dimaksud bukanlah suatu kerajaan politis, melainkan suatu kerajaan rohaniah.
Kebebasan dari di masa Pandemi Covid-19
Mungkin kita merasa “new normal life” menjadi suatu beban atau kuk yang menyiksa. Kita merasa tidak enak ketika ke mana kita berjalan, kita selalu menggenakan masker, di mana pun kita berada, kita selalu menjaga “social distancing” dan mendapat kerja tambahan untuk banyak kali mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir. Kalau “new normal” ini dilihat dalam kaca mata kejengkelan dan kebencian, maka kita sendirilah yang menjadi manusia yang tidak bebas lantaran adanya pembatasan-pembatasan fisik.
Kalau kita merasa semua itu menjadi beban, kita sulit menjadi manusia yang bebas untuk mencintai sesama. Dalam arti lain, kita lebih mengingat diri kita dan tidak menjaga kesehatan dan kehidupan sesama dan diri sendiri dan lebih mengikuti rasa enggan atau bahkan rasa malas untuk saling memperhatikan dan menjaga dan memelihara kehidupan sesama, siapapun dia. Kita menjadi orang bebas dan bahagia ketika kita ada untuk memperhatikan kehidupan dan kesehatan sesama, dan siap untuk mengusir keengganan dari dalam diri sendiri. Jika tidak, maka jangan heran, angka positip penularan Covid19 akan terus bertambah banyak. Itu berarti kita belum mau secara sukarela dan penuh cinta menjadi penyalur berkat kehidupan kepada sesama. Kita masih merasa terkungkung Corona yang membelenggu kebebasan kita.
Doa:
“Tuhan Yesus, beri aku iman seorang anak kecil yang sederhana dan polos, agar aku dapat memandang wajah-Mu dalam sukacita dan kepercayaan, dalam segala kepenuhan kasih kerahiman-Mu. Singkirkanlah segala keraguan, ketakutan dan segala bentuk kesombongan intelektual yang dapat menjadi penghalang bagiku untuk menerima Sabda-Mu dengan keyakinan dan penyerahan diri yang penuh kerendahan hati”. Amin.
John Lebe Wuwur, OCD
Sacred Heart Church Sonder,
Minahasa, North Sulawesi
COMMENTS