MANADO, JP- Ada yang menarik namun cukup mengejutkan dari sambutan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Laskar Manguni Indonesia (LMI) Tonaas Wangko Pendeta Hanny Pantouw STh., di sela-sela pelantikan Pengurus Pusat Laskar Manguni Country Indonesia (LMCI), organisasi sayap (orsap) ke-23 LMI, yang berlangsung di Kampoeng Harmagedon/Markas Besar LMI di Desa Tateli, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara, Jumat (17/09/2021).
Pdt Hanny mengingatkan, jangan sampai di kota Manado konflik antar etnis seperti yang pernah terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah beberapa waktu lalu, yang dipicu benturan budaya antara Suku Dayak dan Madura.
“Saya ingatkan jangan sampai kota Manado yang kita cintai ini mengalami tragedi seperti Sampit. Itu jangan sampai terjadi,” tegasnya.
Peringatan yang disampaikan pemimpin tertinggi ormas adat terbesar di Indonesia tersebut dilatarbelakangi kondisi yang terjadi selama ini di ibukota Provinsi Sulut.
“Saya melihat kondisi saat ini sepertinya bisa mengarah ke sana (Tragedi Sampit, red). Ini seperti bom waktu, yang jika tidak segera diatasi bisa meledak dan menjadi konflik,” katanya.
Pdt Hanny mencontohkan banyaknya perusahan dan pekerja dari luar Sulawesi Utara yang menguasai pekerjaan di Bumi Nyiur Melambai ini, khususnya di kota Manado. Apalagi, lanjutnya, perusahan-perusahan dan pekerja-pekerja luar Sulut tersebut tidak hanya menguasai pekerjaan-pekerjaan besar tapi juga yang kategori sedang dan kecil.
“Kalau perusahan-perusahan dan para pekerja luar menguasai mega proyek seperti jalan tol, waduk, reklamasi dan sebagainya itu bisa dimaklumi karena keahlian yang mereka miliki dan tidak ada di Sulut. Tapi ini sampai pekerjaan security, cleaning service dan petugas parkir dikuasai perusahan-perusahan dan pekerja-pekerja luar Sulut. Padahal itu bisa ditangani perusahan dan pekerja di Manado dan Sulut,” jelasnya.
Jika itu dibiarkan, lanjut tokoh agama dan tokoh masyarakat Sulut ini, maka perusahan-perusahan dan para pekerja asal Sulut menjadi penonton.
“Saya sebagai putra daerah Sulut risau melihat keadaan ini. Jika ini dibiarkan terus maka menjadi bom waktu dan sewaktu-waktu bisa meledak seperti tragedi Sampit. Jangan sampai Manado seperti tragedi Sampit,” katanya.
Namun Pdt Hanny tidak setuju jika kemudian menolak keberadaan perusahan-perusahan dan pekerja dari luar Sulut.
“Bersaing secara sehat. Bukan kita teriak ini tanah Minahasa punya kita orang luar keluar. Tidak boleh seperti itu. Tidak boleh seperti itu. Nanti orang Bandung bilang ini tanah Bandung orang lain tidak boleh masuk. Atau orang Papua bilang ini tanah Papua orang Manado pulang, orang Makassar katakan ini tanah Makassar orang Manado pulang. Tidak boleh seperti itu. Ini NKRI,” tegasnya.
Untuk itu, Pdt Hanny mengingatkan kepada masyarakat untuk terus mengembangkan sumber daya manusia masing-masing agar tidak kalah bersaing dengan perusahan dan pekerja dari luar.
“Perekonomian masyarakat harus bangkit di daerah sendiri. Anak-anak harus terus diasah kemampuan mereka sehingga menjadi SDM yang handal, dan akan dipekerjakan di Sulut sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Perusahan-perusahan putra daerah harus kompetitif ,” pintanya.
Selain itu, pendiri Panti Rehab Narkoba yang berada di Parepei Kecamatan Romboken Kabupaten Minahasa yang telah menyelamatkan ratusan pecandu narkoba di Sulut ini mengingatkan Pemerintah untuk memproteksi hal ini agar tidak berkepanjangan.
“Ini harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah agar tidak menambah jumlah pengganguran di Sulut,” tukasnya.
Jika tidak, Pdt Hanny menegaskan dirinya siap memimpin pergerakan masyarakat di jalan.
“Kalau Pemerintah tidak segera memproteksi hal-hal tersebut maka saya yang akan turun ke jalan memimpin pergerakan masyarakat mendemo pemerintah,” tandas sosok yang sangat peduli dengan masalah toleransi, keamanan dan budaya ini. (JPc)
COMMENTS