MANADO, JP– Jelang Pilkada biasanya akan muncul hasil survei dari lembaga tertentu. Di mana ada survei yang bisa dipertanggungjawabkan dan yang abal-abal.
Demikian dikatakan Pengamat politik Sulawesi Utara Stefanus Sampe Ph.D kepada jejakpublik.com.
“Jadi ada survei dari lembaga resmi dan dapat dipertanggungjawabkan dan ada survei abal-abal,” ujarnya.
Menurut dosen FISIP Unsrat Manado ini, ada etika umum yang harus dipenuhi lembaga survei dalam mempublikasikan hasil kerja di lapangan.
“Lembaga survei harus menjelaskan metodologi surveinya, bagaimana menjaring responden, mengkonstruksi pertanyaannya dan margin of errornya berapa dan sebagainya. Intinya harus transparan cara kerja di lapangan. Kalau tidak seperti itu namanya survei abal-abql dan ini harus diwaspadai,” jelasnya seraya menambahkan survei juga harus berasal dari lembaga survei yang kredibel dan dikenal luas masyarakat.
Di tanya soal survei dibayar, jebolan S2 Public Policy, Australian National University ini mengatakan lembaga survei memang diperbolehkan menerima donasi untuk membiayai surveior. Hanya saja menurutnya, dana yang diterima lembaga survei jangan sampai ikut mempengaruhi hasil.
“Lembaga survei boleh menerima bayaran, tapi jangan mempengaruhi hasil,” paparnya.
Jebolan S3 Government, University of Canberra ini, menegaskan hasil survei jangan dijadikan referensi utama untuk mengetahui situasi pemilih saat ini.
“Terkadang responden survei tidak menjawab setiap pertanyaan sesuai hati nuraninya atau sesuai dengan pilihannya nanti. Jawabannya lebih untuk menjaga perasaan penanya. Dan ingat masyarakat cenderung menentukan pilihannya detik-detik terakhir menuju pencoblosan,” tandas Sampe seraya menegaskan hasil survei tak menentu kemenangan di Pilkada. (JPc)
COMMENTS