MANADO, JP- Wacana ‘Trah Soekarno’ kembali mencuat jelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) RI Tahun 2024. Nama dua kader PDIP Puan Maharani dan Prananda Prabowo yang merupakan ‘Trah Soekarno’ disebut-sebut berpeluang diusung PDI Perjuangan menjadi Calon Presiden dan atau Calon Wakil Presiden.
Namun geliat lembaga survei yang mempublis hasil survei selama ini tidak menempatkan kedua anak dari Megawati Soekarnoputri tersebut di tempat teratas dalam hal elektabilitas. Puan selalu berada di ‘klasmen bawah’ sementara Pranada sama sekali tak mausk klasmen Capres dan Cawapres 2024.
Justru sebaliknya kader PDIP yang lainnya yang bukan dari Trah Soekarno yakni Ganjar Pranowo berada di ‘papan atas’ elektabilitas mengisi ruang 3 besar sebagai pemilik elektabilitas tertinggi di semua lembaga survei.
Hal ini miembuat peluang Gubernur Jawa Tengah ini untuk diusung PDIP jadi Capres di Pilpres 2024 terbuka lebar. Memang ada upaya mengganggu laju dan kans dari Ganjar ini yang justru datang dari kalangan internal PDIP. Namun banyak kalangan dan penganat menilai aksi “penyerangan” ke Ganjar oleh kader PDIP sendiri diduga hanyalah strategi politik partai berlambang banteng moncong putih ini untuk mengetahui reaksi publik dan sekaligus mendongkrak elektabilitas Ganjar yang disebut-sebut mirip dengan Jokowi ini. Dan terbukti elektabilitas Ganjar makin tingga.
Sementara itu, di tengah ‘kemelut’ ini, hubungan Ganjar dengan Puan dan Ketua Umum Megawati tetap baik-baik saja.
Justru dalam analisa jejakpublik.com, ‘Trah Soekarno’ bakal kembali tidak terwujud seperti tahun 2014 lalu. Di mana kala itu desakan internal begitu kencang ingin mengusung ‘Trah Soekarno’ sebagai Capres dan atau Cawapres, termasuk keinginan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, meski kala itu elektabilitas Jokowi yang tertinggi dari kandidat lainnya.
Namun di “injuri time” Megawati selaku Ketua Umum memutuskan dan menetapkan Jokowi sebagai Capres dari PDIP dan menguburkan keinginan mayoritas kader dan bahkan DPP untuk mengusung ‘Trah Soekarno’.
Tak sampai di situ, harapan agar ‘Trah Soekarno’ mengisi posisi Cawapres pun pupus. Megawati memutuskan memilih berkoalisi dengan Partai Golkar yang kala itu juga ingin mengusung kader sendiri menjadi Capres. Namun komunitas intens yang dilakukan petimggi kedua partai ini pada akhirnya bersepakat untuk berkoalisi. PDIP mengusung Jokowi sebagai Capres dan Golkar legowo menerima jatah posisi Cawapres yang kemudian ditempati Jusuf Kalah. Dan hasilnya duet Jokowi-JK terpilih memimpin bangsa Indonesia.
Lalu di Pilpres 2019, berkat kinerja hebat dari Jokowi membuat mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu kembali diusung menjadi Capres. Kala itu wacana ‘Trah Soekarno’ pun kembali mencuat untuk ditempatkan sebagai Cawapres. Apalagi Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2019, PDIP tampil sebagai partai pemenang. Namun karena saat itu situasi politik begitu panas dengan hadirnya politik identitas yang berpotensi konflik, membuat PDIP kembali gagal mengusung ‘Trah Soekarno’ dan merelakan jatah Cawapres kepada figur lain yakni Ma’ruf Amin guna meredam gaung politik identitas yang sangat kuat. Sikap legowo PDIP dan Megawati untuk tidak memprioritaskan ‘Trah Soekarno’ demi kemenangan dan keselamatan bangsa berbuah manis. Duet Jokowi-Amin tampil sebagai pemenang.
Memang situasi Pilpres 2024 tidak lagi sepanas 2019 namun wacana Trah Soekarno” pun kembali mencuat. Nama Puan disebut-sebut memiliki kans maju Capres. Sayang, elektabilitas Puan kalah telak dari Ganjar di semua survei. Meski klaim banyak kader PDIP masih ada 3 tahun menggenjot elektabilitas Puan, namum rasanya sulit mengejar elektabilitas Ganjar yang terus naik. Apalagi gelombang dukungan ke Ganjar makin tak terbendung menyusul terbentuknya Relawan Ganjar di daerah-daerah yang nota bene adalah barisan pendukung Jokowi. Alhasil, diprediksi wacana “Trah Soekarno” sulit terwujud untuk posisi Capres.
Kans Puan dan atau Prananda maju sebagai Cawapres pun menjadi alternatif. Karena itu konsolidasi gencar dilakukan 3 pilar PDIP yakni kader yang berkarya di eksekutif, kader yang bertugas di legislatif dan kader yang di struktural.
Walau PDIP kembali berhak mrngusung calon sendiri tanpa koalisi, namun dengan tertutupnya peluang Jokowi untuk 3 periode menjadi Presiden, membuat semua partai politik (parpol) di luar PDIP bersemangat untuk mengusung calon sendiri. Komunikasi lintas parpol gencar dilakukan para petinggi parpol untuk membangun koalisi demi mengusung calon di Pilpres.
Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat yang memiliki banyak kursi di DPR RI, sudah bulat mengusung Ketua Umum masing-masing sebagai Capres, yakni Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto. Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan dan Agus Harimurti Yudhoyoni (AHY). Sementara Partai Nasdem meski tidak mengusung Capres namun bersiap menggelar Konvensi Capres kepada siapa saja dengan catatan bukan ketua umum parpol. Sedangkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meski tak mempunyai kursi di DPR RI namun mempersiapkan ketua umumnya Giring Ganesha untuk menjadi Capres.
Memang ada figur-figur lain seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan beberapa nama lain dari kalangan militer, namun peluang mereka masih sulit karena bukan sebagai Ketua Umum, mengingat untuk bisa mengusung calon di Pilpres, parpol harus memenuhi Presidential Threshold 20 persen.
Melihat ini, sulit rasanya PDIP untuk mencalonkan kadernya sendiri dan atau bersama figur lain di luar ketua umum parpol. Mau tidak mau PDIP harus memilih salah satu ketua umum parpol untuk menjadi ‘pendamping Ganjar’.
Ada 3 figur ketua umum parpol tersebut di atas yang yang bisa menjadi pilihan PDiP, yakni Airlangga, Prabowo dan Muhaimin Iskandar. Dari 3 figur ini, pilihan paling ideal adalah Airlangga.
Ada beberapa alasan penting. Pertama, Prabowo sudah 4 kali gagal di Pilpres. Namun demikian dengan memiliki elekktabilitas paling tinggi membuat Partai Gerindra akan ngotot mengusung Prabowo kembali menjadi Capres, sehingga kecil peluang mengajak Prabowo untuk mau menjadi Cawapres mendampingi Ganjar. Sedangkan PKB memiliki elektabilitas parpol masih di bawah Partai Golkar.
Kedua, hasil semua lembaga survei menyebut elektabilitas Partai Golkar berada di psosi ketiga di bahwa PDIP dan Gerindra. Hanya saja di satu sisi jarak elektabilitas Golkar dan Gerindra di hasil survei tersebut sangat tipis dan di sisi lain pada Pilkada 2024 Partai Golkar tampil sebagai pemenang secara nasional. Karena itu jika kedua partai besar yang pernah dan sedang memimpin bangsa ini berkoalisi, maka akan melahirkan kekuatan yang sangat besar.
Ketiga, Airlangga selama ini dinilai sebagai figur yang santun dan lebih memilih fokus pada tugasnya menjadi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian RI ketimbang sibuk mendeklarasikan dan mencitrakan diri sebagai Capres dan atau Cawapres. Karena itu tawaran mengisi posisi Cawapres diyakini akan diterima Airlangga mengingat hingga kini elektabilitasnya yang masih jauh dari Ganjar, meski kader Partai Golkar mengklaim masih ada waktu untuk mendongkrak elektabilitas Airlangga.
Keempat, Pilpres 2024 tidak akan lepas dari pengaruh Jokowi. Tentunya Jokowi memiliki figur yang akan direstuinya maju menggantikan dirrinya dan Ma’ruf Amin demi melanjutian kebijakan dan pembangunannya selama ini. Dan banyak pengamat memprediksi bahwa sebagai ‘menteri kesayangan Jokowi, Airlangga merupakan sosok yang akan mendapat restu Jokowi. Apalagi di era New Normal ini tidak berlebihan jika Airlangga menjadi pemimpin yang tepat dan relevan untuk Indonesia, mengingat selama ini Airlanggalah menteri yang paling sibuk melakukan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19, serta dipercaya Jokowi di sejumlah jabatan lain yang penting dan startegis selain menjabat Menko Bidang Perekonomian RI.
So, proses yang dilakoni PDIP dan Megawati Soekarnoputri dengan menjatuhkan pilihan pada Jokowi di Pilpres 2014 oleh PDIP dan membangun koalisi dengan Partai Golkar mengusung duet Jokowi – Jusuf Kalla, diprediksi bakal kembali terulang di Pilpres 2024. Duet Ganjar – Airlangga dinilai paling ideal, tak hanya sekedar meraih kemenangan tapi juga untuk membawa bangsa Indonesia menjadi lebih baik lagi, meski di satu sisi keinginan Partai Golkar mengusung Ketua Umum sebagai Capres pupus dan di sisi lain PDIP harus kembali mengubur mimpi mewujudkan kepemimpinan bangsa Indonesia dari ‘Trah Soekarno’.
Sekali lagi, koalisi PDIP – Golkar dengan mengusung Ganjar – Airlangga sebagai Capres dan Cawapres, tak sekedar demi meraih kemenangan di Pilpres 2024, tapi jauh lebih dari itu masa depan bangsa Indonesia akan semakin lebih baik, sebagaimana yang selama ini sudah mulai diwujudkan Presiden Jokowi. (Simon/JPc)
COMMENTS