Oleh: Pastor Stenly V. Pondaag MSC
PERAYAAN Natal dihubungkan dengan figur-figur murah hati yang dianggap membawa hadiah bagi anak-anak, tapi juga bagi orang dewasa pada perayaan natal. Tidak ada Natal tanpa figur St. Nikolaus atau Sinterklas, dan Santa Claus. Siapa sebenarnya figur-figur itu? Dari mana mereka berasal?
– St. Nikolaus yang murah hati
Kebiasaan memberi hadiah natal yang sudah dikenal sejak abad ke 16 dan 17 tak dapat dilepaskan dari figur Santo Nikolaus, uskup dari Myra. Sejak awal, pemberian hadiah hanya dibuat pada pesta St. Nikolaus, yakni sekitar tanggal 5/6 Desember atau dikenal dengan Perayaan St. Nikolas. St. Nikolaus ditampilkan sebagai bapak tua, dengan atribut uskup, yakni dengan tongkat dan mitra, menunggang keledai dan membawa sejumlah hadiah. Para pengiring St. Nikolaus sering kali tampil dengan sosok yang menakutkan. Sebutan untuk pengiring-pengiring ini berbeda-beda. Di Austria dikenal dengan sebutan Krampus, di Jerman Knecht Rupper, dan di Belanda Zwarter Piet (Petrus Hitam). Kebiasaan di Belanda ini rupanya dibawa di Indonesia, sehingga kita di Indonesia juga mengenal figur ini Zwarter Piet. St. Nikolaus awalnya memberikan hadiah manisan atau coklat. Selain itu, ia menyampaikan kepada anak-anak dan orang-orang dewasa perbuatan-perbuatan baik dan jahat di tahun ini.
Sampai sekarang, kehadiran St. Nikolas memiliki makna pedagogis atau mendidik, terutama bagi anak-anak.
– Sinterklas atau Santa Claus?
Kemunculan Sinterklas atau Santa Claus berkaitan dengan reformasi pedagogik masa pencerahan (awal abad ke-19). Di samping St. Nikolaus tampilnya juga satu atau beberapa figur pendamping dengan sosok yang menakutkan. St. Nikolaus menyapa dan memberi hadiah kepada anak-anak. Sedangkan, figur-figur menakutkan itu bertugas untuk menguji anak-anak, bertanya tentang pelajaran agama, atau memperingatkan anak-anak dengan karung atau sapu lidi.
Praktik menakut-nakuti anak-anak dengan figur-figur menakutkan mendapat kritikan tajam seiring dengan reformasi pedagogik pada awal abad ke-19. Cara ini dianggap tidak mendidik, bahkan membahayakan perkembangan kepribadian anak.
Oleh karena itu, muncullah Sinterklas atau Santa Claus sebagai figur kompromi atau kombinasi antara St. Nikolaus dan figur-figur pendampingnya. Sinterklas mengambil alih atribut-atribut tradisional dari figur-figur pemberi hadiah sebelumnya, seperti karung dan sapu lidi. Namun, ia tampil lebih manusiawi dari pada pendahulu-pendahulunya. Ia tampak lebih bersahabat dan bersikap seperti seorang kakek yang lucu. Kehadirannya membuat orang. Sinterklas atau Santa Claus menjalankan aksi berbagi hadiah dua kali, yakni pada tanggal 5/6 atau pun pada tanggal 24/25 Desember.
– Figur Mr. Winter (Tuan Winter)
Belanda dan Belgia tetap mempraktikkan pemberian hadiah kepada anak-anak pada sore hari perayaan St. Nikolaus. Bahkan, dari Belanda Sinterklas diimport ke Amerika. Di sana Sinterklas menjadi Santa Claus yang juga membagikan hadiah juga pada hari Natal. Namun, tampilan Santa Claus bukan lagi seperti St. Nikolaus, Uskup dari Myra dengan mitra, tongkat, salib dada, stola. Santa Claus tampil menjadi sinterklas sekuler, dan tampil sebagai seorang bapak atau Mr. Winter (Tuan Musim Dingin).
Gambaran Tuan Winter yang terkenal dibuat oleh Moritz dari Schwind (1804-1871). Tuan Winter digambarkan sebagai kakek pengumpul kayu dan merokok cerutu, mengenakan sepatu es dan topi berbentuk atap rumah. Mr. Winter mengenakan baju dan penampilan fisik yang khas bagi sinterklas, yakni jengkot putih dan panjang, mantel tudung lancip, sepatu bot yang berat, ranting palma yang tajam, dan pohon pinus kecil dengan lilin bernyala di tangannya.
– Sinterklas sebagai Santa Claus
Thomas Nast (1840), seorang Amerika kelahiran Jerman (Pflaz), dianggap sebagai penemu figur Santa Claus yang populer di Amerika. Nast membuat lukisan karitaktur untuk majalah Harper’s Weekly. Mr. Winter digambarkan pertama-tama sebagai manusia bertubuh pendek yang berkudung bulu; ia tampil jenaka, merayap melalui cerobong asap untuk membawa banyak hadiah kepada anak-anak. Selanjutnya, figur Mr. Winter berkembang menjadi Santa Claus yang agak lebih besar, dengan tampilannya yang khas, yakni pipi tembam dan perut buncit, mantel merah dan topi berbandul, tampilan yang menyenangkan, dengan jengkot putih, merokok dengan cerutu, dan dengan banyak hadiah di tangannya.
Pada tahun 1931, Santa Claus muncul pertama kali dalam iklan minuman Coca Cola yang dibuat oleh Haddon Sundblom. Santa Claus digambarkan sebagai seorang bapak tua, mengenakan mantel merah dengan bulu binatang berwarna putih, bersama dengan rusa (bahkan dengan kereta rusa), membawa kaus kaki hadiah, dan menawarkan minuman penyegar Coca Cola.
Dari Amerika figur Santa Claus atau Sinterklas tersebar di seluruh dunia dan dipercaya “membagi-bagikan hadiah” pada malam natal atau pada perayaan natal yang diselenggarakan oleh keluarga, kelompok perusahaan, sekolah, dan lembaga-lembaga lain.
– Apakah Santa Claus itu ada?
Pada tahun 1897 seorang anak berusia 8 tahun bernama VIRGINIA O’HANLON menulis surat yang dikirimkan kepada Koran New York The Sun. Dalam surat itu, gadis kecil itu mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah Sinterklas itu sungguh ada?
EDITOR YANG TERHORMAT: Saya berusia 8 tahun. Beberapa teman kecil saya mengatakan tidak ada Santa Claus. Papa bilang, ‘Kalau kamu lihat di THE SUN memang begitu.’ Mohon katakan sejujurnya; apakah ada Sinterklas?
Kepala Staf Redaksi Francis P. Church memberikan jawaban yang dimuat di headline koran The Sun. Selama lebih dari 50 tahun, surat jawaban itu terus menerus dicetak setiap tahun.
Ya, VIRGINIA, Sinterklas itu ada. Dia pasti ada, sebagaimana cinta, kemurahan hati dan kesetiaan itu ada. Dan kamu tahu bahwa cinta, kemurahan hati dan kesetiaan berlimpah dan memberi hidupmu keindahan dan kegembiraan tertinggi. Sayang! Betapa suramnya dunia jika tidak ada Sinterklas. Akan sama suramnya seperti tidak ada VIRGINIA. Maka tidak akan ada iman seperti anak kecil, tidak ada puisi, tidak ada roman yang membuat hidup kita dapat dijalani. Kita seharusnya tidak memiliki kesenangan, kecuali dalam indera dan penglihatan. Cahaya abadi yang dengannya masa kanak-kanak memenuhi dunia akan padam.
Keberadaan dari Sinterklas dijelaskan berdasarkan keberadaan dari cinta, belas kasih dan kesetiaan. Sinterklas tampil sebagai simbol bagi keindahan dan kegembiraan hidup, dan juga untuk semua hal yang membuat hidup ini dapat dijalani. (*)
(Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng)
COMMENTS