Oleh: Dominica Diniafiat
(Mahasiswa Doktoral Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar – Pegiat Budaya)
IDE tulisan ini adalah menyoal kembalinya pendidikan pada ‘rumahnya’. Mengapa demikian, karena pendidikan saat ini, seyogyanya dikembalikan pada fondasi utamanya yakni keluarga. Bahkan tidak salah, jika dikatakan bahwa keluarga adalah tempat sesungguhnya pendidikan itu. Ya, keluarga adalah tempat, awal, tumbuh dan berkembangnya pendidikan. Pendek kata, kenyataan itu, tidaklah perlu dan atau kurang mendesak untuk diperdebatkan.
Harus diakui bahwa sebetulnya bukan tanpa alasan hal itu terjadi, karena jika melihat perkembangan wabah pandemi covid19, yang semakin hari, semakin memakan banyak korban, mengharuskan semua orang, utamanya para pelajar di segala jenjang, untuk belajar, bekerja dan melakukan segala sesuatu dari rumah. Pada praksisnya, banyak hal didapatkan pula oleh semua, ketika ada di dalam situasi dan cara hidup seperti sekarang ini.
Kendati demikian, fakta di atas, tidak tanpa kendala. Hemat penulis, kendala itu tidak hanya tentang akses internet, yang katakanlah belum semua peserta didik bisa dapatkan dengan lancar, termasuk tidak meratanya keadaan ekonomi orang tua para peserta didik, karena tidak semua memilliki akses teknologi informasi, tetapi sebetulnya permasalahnya adalah adanya fakta bahwa orang tua sepertinya tidak siap untuk menjadi ‘guru’ bagi anak-anaknya selama masa pandemi kini.
Dari sana nampak bahwa hambatan terdalamnya menurut perspektif penulis, adalah kurangnya kemampuan orang tua untuk mendidik, layaknya sebagai guru di sekolah. Tidak mengherankan pula bahwa tenyata tidak semua orang tua bisa menjadi ‘guru’ di rumah masing-masing.
Seingat penulis, selang tiga atau empat pekan ‘belajar dari rumah’, orangtua sudah mulai mengutarakan keluhannya, bahkan ada yang dengan beraninya mengekspose di media sosial, bahwa mereka tidak bisa menjadi seperti selayaknya guru di sekolah. Denga kata lain, keluhan utamanya adalah orang tua tidak bisa mengajar anak-anak (mereka) seperti kondisi di dalam kelas (di sekolah).
Keluhan-keluhan itu, juga muncul lewat pertanyaan kurang lebih seperti ini: Apakah orang tua mampu berperan sebagai guru dan melaksanakan tugas-tugasnya menggantikan peran guru di sekolah? Pertanyaan ini, memang bukan tidak bisa dijawab, tapi apapun kondisi orang tua, mereka tetap harus bisa menjadi ‘guru’ bagi anak-anaknya selama kondisi belajar dari rumah. Terasa aneh bagi orang tua jika kebiasan yang selama ini, bahwa yang memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak didik adalah guru di sekolah, kini orang tua harus melakukannya untuk anaknya sendiri. Kini orang tua bukan hanya sebatas menjadi orang tua, tapi menjadi guru bagi anak anak, seperti di sekolah.
Dalam sebuah percakapan dengan seorang guru yang sudah berpengalaman, dan itu akhirnya menjadi bahan refleksi bagi penulis, terungkap bahwa tidak mudah menjadi guru, yang selalu teliti dan telaten dalam mendidik anak-anak. Paling tidak, setiap guru, pasti mengetahui bahwa setiap anak memiliki keunikan dalam belajar. Belum lagi terkait dengan ‘kenakalannya’ (yang tidak mesti disetarakan sebagai kekerasan), harus juga diketahui oleh seorang guru (guru wali kelas). Setiap guru di sekolah, bisa dipastikan memiliki kesabaran tingkat tinggi, keuletan yang mendalam, dan cara serta strategi untuk melakukan pendekatan bagi setiap anak.
Kendati demikian, hal itu berbanding terbalik di situasi kini, di mana peran sebagaimana tersebut di atas, ini dilakoni oleh orang tua. Semua yang diperankan oleh guru di sekolah, berpindah pada orang tua. Maka terkait hal ini, perlulah kita memahami dan menyadari bahwa setiap orang tua memang seharusnya bisa dan mampu menjadi guru bagi anak-anak mereka.
Maka dari itu, setiap orang tua harus menyadari bahwa lingkungan pertama yang punya peran dalam mendidik anak adalah, lingkungan keluarga, disinilah anak dilahirkan, dirawat, dan dibesarkan. Disinilah proses pendidikan berawal, orang tua merupakan guru pertama dan utama bagi anak. Orang tua merupakan guru agama, bahasa dan sosial yang pertama bagi anak. Demikian juga, orang tua merupakan orang yang pertama kali mengajarkan anak berbahasa dan mengajarkan anak bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. (bdk laman www.kompasiana.com).
Akhirnya, marilah menjadi guru bagi anak-anak agar mereka tetap menjadi pembelajar walaupun tidak bisa belajar di sekolah. Marilah menjadi orangtua-guru yang bisa mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai edukasi kepada anak-anak kita supaya selama wabah ini, mereka tetap mejadi subjek-subjek yang terus hidup dengan pendidikan dan pengetahuannya. Mari membangun suasana rumah dengan bernilai edukasi dan sekolah yang menyenangkan sehinga semua anak selama di rumah tetap menikmati hidupnya dengan menyenangkan. (*)
COMMENTS