Oleh : Ayu Veronika Somawati
(Dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja – Komunitas Art & Culture)
SIAPA yang tidak kenal Bali? Pulau cantik dengan pesona keindahan alamnya serta dipadukan dengan tradisi-tradisi unik nan menarik yang dimilikinya, mampu menarik siapa saja yang mendengar namanya untuk datang dan menjelajahinya. Bahkan popularitas Bali disebut-sebut melebihi Indonesia itu sendiri. Lebih banyak warga asing yang lebih familiar dengan nama Bali dibandingkan dengan Indonesia
Di luar keberadaannya sebagai daya taris wisatawan, kehidupan sehari-hari masyarakat Bali memang tidak dapat dipisahkan dengan aktifitas-aktifitas budaya dan keagamaan yang telah berbaur menjadi satu serta mendarah daging dalam diri masyarakat Bali. Semua ini diwariskan secara turun temurun sehingga menjadi kebiasaan di dalam diri masyarakatnya.
Salah satu ciri khas dari tradisi yang ada di Pulau Dewata ini adalah kegiatannya yang bersifat komunal, melibatkan banyak orang serta menunjukkan kebersamaan. Tradisi Bali dan kegiatan bersosialisasi antar masyarakat memang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Keterlibatan di dalam suatu kegiatan keagamaan maupun tradisi menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi anggota masyarakat yang ikut serta di dalamnya.
Di tengah kondisi pandemi seperti saat ini, salah satu tantangan terbesar bagi masyarakat Bali dalam pelaksanaan tradisi dan kegiatan keagamaannya adalah adanya anjuran pemerintah untuk melaksanakan physical distancing. Hal ini diperkuat setelah dikeluarkannya Himbauan Gubernur Bali Nomor 215/GugusCovid19/IV/2020 bahwa kegiatan adat dan agama hanya boleh dilaksanakan dengan melibatkan paling banyak 25 (dua puluh lima) orang, tentu kegiatan keagamaan serta tradisi yang melibatkan banyak orang mau tidak mau, suka tidak suka harus ditinjau kembali efektifitas dan efisiensinya.
Kondisi pandemik Covid-19 menyebabkan banyak perubahan keadaan. Hal ini tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Banyak hal yang pada akhirnya harus disesuaikan dengan keadaan saat ini. Masyarakat khususnya masyarakat yang ada di Bali saat ini memang berada dalam dilema, antara mengikuti kebijakan dan instruksi pemerintah, atau tetap menjalankan tradisi yang telah turun temurun diyakini.
Memaksakan kegiatan yang bersifat eksternal, menunjukkan kesemarakan serta kebahagiaan spiritual yang diperoleh melalui kegiatan keagamaan yang bersifat kolektif dalam keadaan seperti saat ini memanglah bukan tindakan yang bijak. Antisipasi penularan virus demi keselamatan bersama merupakan prioritas bersama dalam situasi pandemic seperti saat ini.
Hingar bingar serta kesemarakan dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan dan tradisi turun temurun bukanlah jaminan akan memperoleh kebahagiaan hakiki dan mencapai kesadaran Ilahi apalagi di tengah pandemic Covid-19. Justru jangan sampai, hingar bingar tersebut malah mengantarkan masyarakat kepada kondisi yang lebih buruk lagi.
Dalam keadaan seperti saat ini membuat manusia memiliki banyak waktu untuk sekiranya melakukan kontemplasi diri, merenungkan dan berpikir penuh serta mendalam untuk mencari nilai-nilai serta makna dari tujuan hidup. Penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan tidak hanya bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan dan tradisi-tradisi yang bersifat kolektif dan eksternal. Pemujaan yang selama ini dilakukan dengan cara pencarian keluar, sudah saatnya diseimbangkan juga dengan pencarian ke dalam diri, karena pada dasarnya di dalam diri setiap orang terdapat sumber kebijaksanaan dan kekuatan yang luar biasa apabila mampu disadari.
Pada akhirnya, pandemi Covid-19 ini menjadi titik balik untuk melakukan perubahan-perubahan kecil yang berarti bagi diri sendiri serta masyarakat. (*)
COMMENTS