HomeKolom & Interaktif

Cap Tikus: Antara Warisan Budaya dan Persoalan Etis

Cap Tikus: Antara Warisan Budaya dan Persoalan Etis

Oleh: Kristian Arkian
(Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng – Sulawesi Utara dan Komunitas Penulis Art & Culture)

CAP tikus adalah minuman beralkohol tradisional yang berasal dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Cap tikus merupakan minuman hasil penyulingan dari air nira (saguer) yang dikeluarkan oleh pohon “seho” atau pohon aren. Sudah sejak lama, cap tikus telah menjadi minuman keras yang sangat digemari di tanah Minahasa, sebab minuman ini telah menjadi suatu budaya (kuliner) dan terus dipertahankan oleh masyarakat Minahasa.

Sebagai orang yang lahir dan besar di tanah Minahasa, saya melihat bahwa cap tikus telah menjadi minuman yang sangat populer di tanah Nyiur Melambai ini. Di setiap pesta, entah pesta pernikahan, HUT, syukuran, bahkan pesta duka (kematian), cap tikus turut hadir dalam menghangatkan suasana yang ada. Bahkan tidak hanya dalam pesta saja, di saat masyarakat Minahasa berkumpul di suatu tempat, maka kemungkinan besar cap tikus ada di tempat itu.

Rasa pahit dengan aroma yang sangat menyengat dan rasa hangat setelah meminumnya merupakan sifat khas dari cap tikus. Tidak hanya soal rasa, cap tikus mampu membangkitkan kebersamaan dalam suatu perkumpulan. Akan sangat hambar rasanya apabila dalam suatu perkumpulan masyarakat di Minahasa, tidak dihadirkan cap tikus. Bisa terlihat bahwa fungsi cap tikus tidak hanya soal rasa, tapi lebih kepada membangkitkan suasana hangat dalam suatu pertemuan.

Saat ini, minum cap tikus tidak hanya menjadi suatu kebiasaan saja, tapi telah menjadi suatu tolak ukur kehebatan. Bahkan terdapat suatu istilah di kalangan anak muda di Minahasa; “kalo ntau bagate, nda usah bergaul” artinya jika tidak tau minum cap tikus, tidak usah bergaul (berkumpul dengan teman-teman). Sehingga minum cap tikus tidak hanya berurusan dengan rasa, melainkan tuntutan gengsi dan pergaulan.

Baca Juga  Yesus Datang ke Dunia, Bawa Damai di Bumi dan Damai di Hati

Konsekuensi yang didapat setelah minum cap tikus sangat banyak. Mulai dari bahaya bagi kesehatan. Hal ini sangat jelas, sebab kadar alkohol yang terkandung dalam cap tikus bisa mencapai 40% (pada hasil penyulingan pertama). Dengan kadar alkohol yang begitu tinggi itu, sangat berpengaruh negatif bagi kesehatan. Selain itu, bahaya lain yang didapat setelah minum cap tikus adalah perkelahian yang dapat berujung pada maut. Minum cap tikus secara berlebih dipastikan dapat membuat orang menjadi mabuk. Pada saat mabuk, orang biasanya tidak dapat mengontrol dirinya, baik kesadarannya, akalnya, dan emosinya. Sehingga orang yang mabuk sangat rentan merasa marah akan sesuatu, bahkan yang tidak ada hubungan dengan dirinya.

Begitu banyak bahaya yang disebabkan karena minum cap tikus, membuat Pemerintah dan Kepolisian Sulawesi Utara membuat slogan “brenti jo bagate” (bagate = minum cap tikus). Slogan ini dikeluarkan karena begitu banyak tindak kriminal dan angka kematian yang disebabkan oleh cap tikus. Namun slogan tersebut tidak menghentikan minat masyarakat dalam mengkonsumsi cap tikus. Hal tersebut terjadi sebab produksi cap tikus tidak pernah berhenti, walaupun sudah dilarang. Tidak sedikit masyarakat Minahasa yang berprofesi sebagai petani cap tikus, sehingga memproduksi cap tikus telah menjadi mata pencahrian mereka.

Kesadaran akan bahaya mengkonsumsi cap tikus sudah ada dalam diri masyarakat Minahasa. Mereka tau dan sadar bahwa mengkonsumsi cap tikus dapat menyebabkan kematian bagi dirinya. Namun dengan berbagai alasan yang ada membuat bahaya akan kematian tidak dihiraukan oleh masyarakat. Cap tikus tetap menjadi minuman favorit yang selalu hadir dalam setiap perkumpulan yang ada di Minahasa.

Baca Juga  Pandemi Dan Pemajuan Budaya

Baik laki-laki maupun perempuan dewasa, bahkan pemuda dan remaja, seakan tidak bisa lepas dari cap tikus dan menjadikannya sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun dengan konsekuensi yang dapat membuat orang kehilangan kesadarannya dan dapat memicu tindak kriminal, membuat cap tikus menjadi minuman yang berbahaya. Bagi saya, hal ini menghancurkan eksistensi manusia. Kesadaran dan pengetahuan akan bahaya yang dapat merenggut nyawa, membuat masyarakat yang mengkonsumsi cap tikus kehilangan makna hidupnya. Masyarakat seharusnya lebih menghargai eksistensinya sebagai manusia, sebagai hal yang sangat mendasar dalam kehidupannya. Di sinilah letak dari persoalan etis yang ada.

Problem yang diangkat di sini adalah cap tikus di zaman modern (saat ini), bukan lagi menjadi warisan budaya (Minahasa) sebagaimana perannya yang seharusnya. Eksistensi manusia dalam aktivitas pengkonsumsian cap tikus masih dipertanyakan, apakah dengan kesadaran untuk pelestarian budaya atau untuk alasan lainnya yang lebih bersifat kesenangan pribadi. “Mengkonsumsi cap tikus dapat menyebabkan kematian”, kesadaran akan hal tersebutlah yang justru mengahancurkan eksistensi manusia di dunia. Manusia seharusnya berusaha untuk mempertahankan eksistensinya dan lebih baik lagi jika mengembangkannya. Bukan menghancurkan diri sendiri dengan mengkonsumsi cap tikus.

Pemilihan tema “cap tikus sebagai warisan budaya mematikan eksistensi” ini, tidak semata-mata ingin menjatuhkan peran dari cap tikus, khususnya dalam hal budaya. Namun dalam hal ini, saya melihat bahwa masyarakat tidak mengindahkan cap tikus sebagai warisan budaya. Nilai budaya yang terkandung dalam cap tikus hilang oleh pengkonsumsian cap tikus secara lebih dan tanpa makna. Dalam pengertian budaya, saya mempelajari bahwa awalnya cap tikus dikonsumsi dengan tujuan sebagai ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkat (rezeki) yang diberikan. Saat ini, saya melihat bahwa hal itu tidak lagi terjadi.

Baca Juga  Memediasi Budaya: Sebuah Refleksi di Tengah Pandemik Covid-19

Dengan demikian, tulisan ini mengajak masyarakat Minahasa untuk merefleksikan aktivitasnya dalam pengkonsumsian cap tikus. Sampai pada taraf manakah, nilai budaya masih terkandung dalam aktivitas mengkonsumsi cap tikus. Bila masyarakat Minahasa masih saja mengkonsumsi cap tikus secara berlebih dengan kesadaran akan bahaya kematian yang terkandung di dalamnya, maka hal inilah yang saya sebut sebagai “mematikan eksistensi”. Secara sadar mengkonsumsi sesuatu yang dapat membunuhnya merupakan bagian dari aktivitas yang menghilangkan makna kehidupan. Tentu pada taraf ini, tidak ada nilai budaya yang terkadung, sepenuhnya hanya aktivitas yang mengikuti nafsu dan gengsi.

Kita tahu bersama, bahwa merubah suatu kebiasaan sangatlah sulit, apalagi kebiasaan dalam mengkonsumsi sesuatu. Namun untuk hidup yang lebih baik, suatu keputusan untuk berubah merupakan jalan terbaik untuk kembali memaknai kehidupan dan mempertahankan eksistensinya. Mengkonsumsi cap tikus dalam taraf tertentu dapat berarti suatu tindakan pelestarian kebudayaan. Namun jika berlebih dan tanpa makna, maka ini menjadi suatu tindakan yang menghancurkan diri sendiri. Jadi, maknai kehidupan dengan terus mempertahankan eksistensi anda sebagai manusia, dengan melakukan tindakan yang bernilai. (“)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0