JAKARTA, JP- Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Fadil Zumhana mengatakan bahwa dalam upaya penegakan hukum, pendekatan keadilan restoratif, bertujuan untuk mengembalikan kondisi di masyarakat seperti semula dan dapat menjadi suatu alternatif dalam penyelesaian suatu tindak pidana, artinya penyelesaian tindak pidana tidak selalu bersifat retributif (pembalasan).
Hal ini dikatakannya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Anggota Komisi III DPR RI pada Rabu 23 Maret 2022 bertempat di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, sebagaimana rilis dari Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Dr Ketut Sumedana kepada jejakpublik.com, Kamis (10/03/2022).
JAM-Pidum menjelaskan Restorative Justice kiranya dapat menjadi solusi dalam penyelesaian sejumlah kasus tindak pidana yang “ringan” dan mencederai rasa keadilan di masyarakat, seperti kasus seorang nenek dipidana dikarenakan mengambil beberapa buah kakao dan seorang kakek dipidana karena mengambil getah karet yang jika dirupiahkan nilainya kurang lebih 17 ribu rupiah. Kasus tersebut tentunya mencederai hati nurani masyarakat dan para pencari keadilan, bahkan semakin menasbihkan pepatah “hukum tumpul keatas dan tajam kebawah”. Oleh karena itu kiranya dirasakan perlu adanya suatu alternatif penegakan hukum yang lebih membumi, yang lebih ideal yaitu restorative justice.
“Penyelesaian perkara melalui Restorative Justice mendapat respon yang sangat positif dari masyarakat, terbukti dengan banyaknya permintaan agar penyelesaian perkara dilakukan melalui proses penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum telah beberapa kali mengeluarkan petunjuk teknis dalam pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, terakhir dengan surat edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: 01/E/Ejp/02/2022 Tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” ujarnya.
Selanjutnya, JAM-Pidum mengatakan bahwa pembentukan Rumah Restorative Justice yang sudah dilaunching oleh Jaksa Agung pada Rabu 16 Maret 2022 dapat menjadi sarana penyelesaian perkara diluar persidangan (afdoening buiten process) sebagai alternatif solusi memecahkan permasalahan penegakan hukum dalam perkara tertentu yang belum dapat memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat seperti sebelum terjadinya tindak pidana.
“Rumah Restorative Justice tersebut pada hakekatnya juga diharapkan dapat menjadi triger untuk menghidupkan kembali peran para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat, untuk bersama-sama masyarakat menjaga kedamaian dan harmoni serta meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap sesamanya yang membutuhkan keadilan, kemaslahatan, namun tetap tidak menyampingkan kepastian hukum,” tandasnya. (JPc)
COMMENTS