JAKARTA, JP – Sejumlah pemuda dari Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar diskusi terbatas (focus group discussion) di Jakarta, Selasa (11/06/2024). Pembahasan FGD mengerucut pada harapan kaum milenial terhadap calon pemimpin dan wakil rakyat NTT.
Acara yang diinisiasi oleh sejumlah anak muda lintas-batas ini menghadirkan Ketua KPPOD Armand Suparman, Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan UKI F.X. Gian Tue Mali, praktisi media dan komunikasi Dewi Leba, jurnalis Anna Maria, jurnalis Aryanto Seran, jurnalis dan penyair Fritz Embu, pemikir politik Edu Lumanto, praktisi industri Viany Rada, praktisi lingkungan hidup dan pemberdayaan Masyarakat Rully Dei, politisi muda Marthen Kilok dan penulis esai Agustinus Tetiro.
Armand Suparman mengatakan, peran ruang publik di NTT selama tahun politik 2024 ini harus dioptimalkan, karena selama ini gerakan dan seruan civil societies belum banyak terdengar. Itu bisa saja disebabkan terlalu dominannya relasi kuasa antara eksekutif dan legislatif yang tidak pernah memperhitungkan keberadaan kelompok-kelompok di ruang publik.
“Pada satu sisi, kita membutuhkan kesadaran kelompok-kelompok kritis dan kreatif di ruang publik. Di sisi lain yang juga amat penting adalah kita memilih pemimpin daerah yang benar pada Pilkada nanti untuk mengembalikan NTT pada jalur pembangunan berlandaskan otonomi dan desentralisasi,” jelas Armand.
Armand mengungkapkan, NTT memiliki semua catatan pada empat matra desentralisasi dan otonomi daerah. Pertama, desentralisasi ekonomi yang masih menyisahkan pekerjaan rumah (PR) untuk mengoptimalkan peran swasta dan UMKM. Kedua, desentralisasi fiskal yang perlu dirapikan dari sisi penerimaan daerah. Ketiga, desentralisasi politik dengan memprioritaskan kelompok-kelompok rentan dan kehendak untuk tidak mengakali e-budgeting melalui lobi-lobi di luar sistem. Keempat, desentralisasi administrasi.
Armand berharap, pemimpin NTT bisa tampil layaknya Superman yang menomorsatukan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat dan penguatan daya saing daerah. “Untuk konteks NTT, kepemimpinan politik yang bisa menghubungkan pusat dan daerah menjadi keharusan,” tandas Armand.
Ferdy Hasiman melihat pembangunan NTT tidak hanya pada momentum pilkada 2024. Kelompok-kelompok kritis dan kreatif seperti generasi millennial perlu bergerak dari Jakarta untuk membangun NTT. Caranya dengan mendorong optimalisasi kinerja 13 anggota DPR dan 4 anggota DPD terpilih dari NTT.
“Kita perlu mendesak mereka untuk bertarung di banggar memastikan banyak APBN mengalir ke NTT. Selama ini, kita melihat mereka pulang ke NTT bagi-bagi sumbangan. Namun, kita belum menemukan hal itu berdampak masif untuk masyarakat,” jelas Ferdy.
F.X.Gian Tue Mali melihat susahnya memberantas politik uang di NTT karena adanya pertarungan kelas. Masyarakat ‘dibiarkan’ untuk selalu berada pada posisi yang sangat membutuhkan dana segar, tanpa ada inisiatif para politisi untuk menyejahterakan mereka.
“Hal ini terlihat dari tidak adanya inisiatif para politisi kita untuk membuka akses pasar berkeadilan bagi masyarakat akar rumput,” ungkap Gian.
Menurut Gian, politik NTT juga minim regenerasi. Kalaupun ada, anak-anak muda yang muncul biasanya hanya menjadi bukti menguatnya politik dinasti melalui ‘marketing’ figur dan gaya politik sang ayah.
Edu Lumanto memberikan orientasi politik NTT ke depan yang perlu digagas dengan mengubah mentalitas pemimpin dan Masyarakat. “Politik rekognisi, kreativitas, independensi, dan sumber daya manusia (SDM) perlu menjadi syarat mutlak jika kita ingin maju,” ujar Edu. (*)
COMMENTS