Oleh: Joseph Epifianus
(Anggota PMKRI Merauke)
ERA informasi-digital dicirikan dengan ‘pemadatan waktu’ (time compression), sebagai konsekuensi dari percepatan tempo kehidupan. Narasi kehidupan berkembang ke arah ‘narasi kecepatan’ (narrative of speed), di mana waktu dan perbedaan dikonstruksi di dalam sebuah model ‘percepatan’ atau ‘intensifikasi’ waktu.
Perbedaan di dalam waktu tidak saja menjadi sebuah ontologi, yaitu “ontologi perbedaan waktu”, tetapi perbedaan itu sendiri dimampatkan jarak waktunya. Aneka fungsi, bentuk, gaya dan citra baru yang berbeda, yang muncul dalam sebuah garis produksi, tidak saja semakin meningkat perbedaannya, tetapi juga semakin dekat jarak kemunculannya satu sama lain dengan garis waktu. Tidak hanya dimungkinkan untuk membicarakan waktu sebagai sebuah ontologi, tetapi bagaimana waktu itu sendiri diorganisasikan melalui aneka kecepatan dan percepatan sehingga dimungkinkan pula untuk membicarakan ‘kecepatan’ sebagai buah ontologi yaitu ontologi kecepatan (ontology of velocity).
Penggunaan dunia maya dalam berbagai bidang tumbuh semakin luas seiring dengan perkembangan teknologi. Terdapat peralihan ke dunia maya yang tidak bisa dihindari karena keunggulannya yang menjadi alat komunikasi efektif, menyeberangi batas geografis, dan menciptakan rasa kebebasan untuk melakukan banyak hal.
Namun, fenomena ini juga melahirkan pertanyaan seberapa jauh kebebasan tersebut dapat digunakan dan apakah negara dapat mengontrolnya. Mudah, murah dan cepat itulah tiga adjektiva yang menggambarkan sifat dunia maya saat ini. Tidak heran, terjadi perpindahan berbondong-bondong dari dunia nyata ke dunia maya, perihal administrasi dan bisnis hingga penggunaan fasilitas dunia maya untuk melakukan kegiatan sosial dan politis.
Dunia maya merupakan salah satu alternatif yang membuka kemungkinan baru untuk berkoneksi satu sama lain. Membicarakan aktivitas online dalam kasus gerakan politik di Indonesia perlu dilihat beberapa hal seperti political awareness (kesadaran politik), civic engagement (keterikatan sipil), maupun gerakan politik (political movement). Walaupun perkembangan cyberspace di Indonesia memang lambat, namun menunjukkan trend yang positif dalam persebarannya.
Merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Paul Virilio dalam bukunya Speed & Politics (1986:13), tentang ‘kecepatan’ dapat membawa manusia (masyarakat modern) pada berbagai ‘perkembangan waktu’ itu sendiri, dengan melihat berbagai tema sentral tentang percepatan waktu diantaranya pemadatan waktu, waktu yang berlari (yang disebut Virilio ‘dromologi’). Virilio melihat sangat sentralnya kecepatan dan percepatan – yaitu pemadatan tempo kehidupan – di dalam kehidupan eksistensial manusia modern. Kecepatan tidak lagi sekadar mempengaruhi tempo kehidupan, tetapi menjadikannya sebuah kondisi keniscayaan yang tidak dapat ditolak.
Kehidupan masyarakat modern menurut Virilio, sangat menggantungkan diri pada kecepatan berlari, bila ia lambat ia akan mati. Olehnya itu, kecepatan adalah prakondisi dunia kehidupan kontemporer yang tanpanya dunia tidak dapat dijalankan. Sedangkan James Gleick, di dalam Faster: the Acceleration of Fust About Everything, melihat kecepatan sebagai bentuk ‘ekstasi’, yaitu kondisi larutnya manusia di dalam kecepatan dan percepatan perubahan sebagai akibat dari perkembangan.
Dunia maya (atau disebut juga ruang siber) (bahasa Inggris: cyberspace) adalah media elektronik dalam jaringan yang banyak dipakai untuk keperluan komunikasi satu arah maupun timbal balik secara online (terhubung langsung). Dunia maya ini merupakan integrase dari berbagai peralatan teknologi komunikasi dan jaringan computer (sensor, transduser, koneksi, transmisi, prosesor, signal, pengontrol) yang dapat menghubungkan peralatan komunikasi (komputer, telepon genggam, instrumentasi elektronik, dan lain-lain) yang tersebar di seluruh penjuru dunia secara interaktif.
Kata “cyberspace” (dari cybernetics dan space) berasal dan pertama kali diperkenalkan oleh penulis fiksi ilmiah dalam buku ceritanya, “Burning Chrome” (1982) dan menjadi populer pada novel berikutnya, Neuromancer, (1984) yang menyebutkan bahwa: “Cyberspace. A Consesnsual hallucination experienced daily by billions of legitimate operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts … A graphic representation of data abstracted from the banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the nonspace of the mind, clusters and constellations of data. Like city lights, receding”.
Cyberspace yang sering dilukiskan sebagai sebuah ruang yang di dalamnya setiap orang diandaikan dapat mengembangkan imajinasinya secara bebas dan liar, yang di dalamnya orang diandaikan dapat menemukan ‘diri otentik’, oleh karena di dalamnya setiap orang dapat menavigasikan diri mereka sendiri, tanpa ada yang mengontrol dan mengendalikan – pada kenyataannya adalah sebuah ruang tempat membiaknya secara bebas ketidakotentikan, imitasi, simulasi, pemalsuan, peniruan, manipulasi, penyalahgunaan dan pengaburan identitas.
Cyberspace merenggut setiap orang dari tempat, ruang dan teritorialitas fisiknya, dan membawanya ke suatu tempat, ruang dan teritorialitas baru yang bersifat artifisial sama sekali, yang di dalamnya setiap orang dapat membentuk komunitas baru pula, yang disebut komunitas virtual (virtual community). Cyberspace adalah sebuah proses deteritorialisasi sebagaimana dikatakan Deleuze & Guattari, dalam pengertian bahwa ia merenggut setiap orang dari teritorialitas fisikalnya, untuk membawanya ke sebuah teritorialitas non fisikal yaitu teritorialitas virtual.
Kemajuan teknologi dan informasi sedikit atau banyaknya turut memajukan cara manusia bermasyarakat. Sejarah dunia menunjukkan, pendobrakan cara bermasyarakat dan berpikir yang kolot seringkali dimulai oleh penemuan teknologi. Begitu juga perkembangan internet, yang hari ini menghamparkan dunia baru bernama media sosial. Pada tahun 2017, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 143 juta orang atau 54,69 persen dari total populasi Indonesia. Sementara dari laman http://wearesosial.com disebutkan, ada 130 juta pengguna media sosial di Indonesia.
Menariknya lagi, sekitar 90 persen dari jumlah itu mengakses media sosial menggunakan telepon seluler. Penggunaan media sosial telah menghilangkan efek jarak dan batasan ruang. Komunitas media sosial bukan hanya menerobos batas bangsa, tetapi juga menerjang hingga situs organisasi sosial tertua di dunia yaitu keluarga.
Politik digital merupakan kajian baru dalam khazanah ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pada umumnya diskusi mengenai hal-hal digital dikaitkan dengan masalah teknologi dan informasi sehingga bernuansa lebih teknis dan numerik. Meskipun demikian, titik tolok dari tulisan ini mengacu pada dampak perkembangan teknologi yang sedemikian masif di kalangan masyarakat. Teknologi berperan besar dalam menyempitkan waktu, ruang, dan jarak sehingga saling terkoneksi satu sama lainnya dalam satu ruang yang bernama siber (cyberspace). Penetrasi internet melalui cyberspace telah menyamai adanya deliberasi nilai-nilai demokrasi seperti halnya kesukarelaan (valuntarism), kesaamaan (egalitarian), maupun praktik berjejaring (networking) menyebar dan diterima oleh masyarakat dunia modern.
Penulis mencoba mengartikan cyberspace dengan dua hal yakni; aktivisme dan preservasi. Makna aktivisme merujuk pada pengertian terbentuknya gerakan politik, sedangkan makna preservasi yakni lebih dilihat bahwa cyberspace sebagai ruang demokrasi. Penulis mencoba menampilkan sisi aktivisme dalam kasus cyberspace dalam kasus masyarakat modern. Trend aktivisme digital memang menghangat seiring dengan munculnya berbagai macam gerakan politik misalnya Zapatista, Occupy, N20 Seattle, Arab Springs yang terjadi di Indonesia di tahun kasus relawan dalam 2014 silam. Dalam tulisan ini secara lebih lanjut penulis akan mengupas beberapa hal yakni; Pertama, analisis terhadap kritis ruang publik dan saluran representasi politik dalam situasi politik kekinian. Kedua, munculnya cyberspace sebagai ruang publik dan sasaran representasi kepentingan masyarakat modern. Ketiga politik media sebagai konsolidasi pasar dan ide.
Ruang Publik Representasi dan Sasaran Kepentingan
Pengertian ruang publik menurut Habermas terkesan masih utopis dan optimis karena mengandalkan bahwa ruang publik itu adalah arena inklusif dan pluralis bagi setiap orang untuk bisa berpartisipasi dalam arena tersebut. Rasionalitas memang menjadi kunci mendasar dari implikasi hadirnya ruang publik dalam masyarakat yang kemudian menciptakan adanya masyarakat yang kritis dan independen. Namun, yang menjadi pertanyaan dari konsep ruang publik ini kemudian dibentuk dan diaktualisasikan dalam ruang masyarakat.
Adapun penjelasan dari Habermas mengenai prakondisi terbentuknya ruang publik dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) seberapa kuat kekuatan pasar yang menjadi fondasi berdirinya ruang publik. Hal ini terkait dengan nilai-nilai liberalisme individu yang diusung dalam masyarakat borjuasi. Ruang publik sendiri tumbuh dari proses transisi dari kapitalisme liberal menjadi kapitalisme terorganisir (Calhoun, 1992: 6), di mana saat itulah kebutuhan ruang publik menjadi meningkat bagi publik dalam dinamika kehidupan yang mekanis dan merkantilis. 2) seberapa independen ruang publik tersebut bebas dari intervensi politik yang dilakukan oleh negara maupun pasar. Hal ini penting mengingat transisi dari government menuju governance sendiri membutuhkan adanya derajat indenpendensi antara aktor negara, pasar maupun masyarakat sipil.
Secara garis besar ruang publik dapat dideskripsikan menjadi tiga ranah penting yakni; 1) ruang publik sebagai arena. Makna tersebut mengindikasikan bahwa ruang menyediakan basis komunikasi antar masyarakat. 2) ruang publik adalah publik itu sendiri. Artinya, mengindikasikan bahwa publik adalah aktor penting dalam menjalankan demokrasi dari tingkatan akar rumput. 3) ruang publik adalah agen. Maksudnya ruang publik itu merupakan agen atau alat penting dalam menyampaikan aspirasi dari akar rumput (Schuler & Day, 2004: 4-6).
Kapitalisme global sebagai motor kecepatan telah menggiring masyarakat modern untuk ‘berlari’ mengikuti kecepatan pergerakannya (produksi, promosi, distribusi, konsumsi), sampai pada satu titik di mana manusia (dan bumi) tak mampu lagi menanggung arus kecepatan tersebut.
Manusia lalu tenggelam dalam arus percepatannya yang tanpa interupsi, sehingga tak tersisa waktu lagi untuk Tuhan. Tekanan kecepatan yang kian besar tak kuasa lagi ditanggungkan oleh kemampuan dan kapasitas manusia dalam mencerna semuanya. Komoditas telah melampaui hakikat komoditas itu sendiri yang telah bercampuraduk dengan alat tukar – hypercommodity; fungsi telah melampaui hakikat fungsi itu sendiri, dengan mencampuradukan fungsi dan non-fungsi – hyperfungtion: tanda telah melampaui hakikat tanda itu sendiri, sehingga perbedaan antara penanda dan petanda lenyap hypersignification (Yasfar Amir Piliang, 2017: 49).
Yang membedakan masyarakat kapitalis dari semua masyarakat sebelumnya dalam pandangan Marx ialah bahwa revolusi yang akan mengakhirinya, revolusi sosialis, akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas.
Dalam masyarakat kapitalis, nafsu mencari untung yang dalam masyarakat prakapitalis diselubungi dengan pelbagai ideologi yang suci diakui secara resmi sebagai nilai utama. Uang atau modal dan bukan konsumsi menjadi tujuan kegiatan ekonomis. Maka, terjadi akselerasi perkembangan produksi dan penyederhanaan struktur-struktur sosial. Desakan untuk menaikkan produktivitas semakin besar dan persaingan antar para kapitalis semakin tajam. Kantong-kantong produksi dengan gaya prakapitalis, perusahaan-perusahan kecil dan menengah, semakin terserap ke dalam perusahaan-perusahaan besar dan para pemiliknya jatuh ke dalam proletariat.
Maka, jumlah kaum buruh semakin bertambah. Karena produksi hanya diatur oleh egoisme masing-masing perusahaan, krisis-krisis ekonomi, terutama karena kelebihan produksi, semakin sering terjadi. Meluasnya kelas buruh dan rasionalisasi produksi yang semakin mengurangi jumlah buruh yang masih mendapat pekerjaan, semakin memiskinkan kelas buruh. Perkembangan ini membuat kaum buruh semakin sadar akan situasi mereka dan semakin militan.
Akhirnya tinggal dua kelas yang saling berhadapan: segelintir pemilik modal yang terus merasionalisasikan produksi dan massa kaum buruh yang tidak lagi dapat membeli produksi itu.
David Bale dalam bukunya Cyberculture Theorists (2011) menyebutkan bahwa cyberspace sebagai semesta paralel. Hal ini dikarenakan bahwa cyberspace tersusun dari berbagai macam jaringan listrik yang berjalan dalam setiap jaringannya mewakili berbagai bentuk tingkatan kecerdasan manusia. Cyberspace menjadi sebuah dunia baru bagi pengguna jejaringnya, yang menghubungkan antar masyarakat untuk berbagi aktivitas kesehariannya yang sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukannya sehari-hari. Bukan hanya membangun peta pengalaman di dunia nyata, namun ada sesuatu yang esktra di dunia maya.
Hal yang berbeda dari cyberspace adalah perbedaan ruang, waktu dan gerakan yang lebih instan dan serba cepat dibandingkan dengan kehidupan realitas manusia. Dewasa ini, dunia cyberspace menjadi common reality, bentuk baru perkembangan hiperrealitas. Perkembangan pun tidak dapat dilepaskan dari fondasi nilai filosofis, etis dan ideologis. Berbagai bentuk imajinasi dan visi yang semula hanya merupakan angan-angan, kini terbungkus pada kain harapan yang bernama “realitas”.
Cyberspace merupakan dunia fiksi yang tidak jelas batasnya, dunia bebas tanpa sekat yang menjadikan masyarakat yang belum sepenuhnya, lebur di restrukturisasi oleh media sosial.
Politik Media Sebagai Konsolidasi dan Pasar Ide
Pertanyaan mengenai bagaimana media mempengaruhi politik adalah pertanyaan yang rumit, tetapi dalam rumusan yang paling dasar, jawaban yang benar adalah: itu tergantung. Meskipun pendapat awal menyatakan bahwa media memiliki apa yang disebut dengan efek hipordemik yang kuat dan langsung. Riset yang baru menunjukkan bahwa faktor individu dan konteks berpengaruh signifikan terhadap sejauh mana media mempengaruhi perilaku dan keyakinan politik orang dan kebijakan publik. Media biasanya dipandang untuk – dan sebagian berpendapat, wajib untuk – memberikan forum bagi ekspresi dan diskusi berbagai macam ide yang sering bertentangan. Secara khusus penting menjelang pilkada di berbagai daerah di Indonesia di mana masyarakat mendasari keputusannya setidaknya pada proposal kebijakan siapa yang mereka anggap paling menarik dan mampu membawa perubahan sosial.
Akan tetapi bahkan pilkada masih jauh, jagat maya sudah sangat ramai diwarnai dengan diskusi sekaligus memberikan informasi kepada masyarakat, dan sebagian orang percaya bahwa demokrasi mendapat manfaat dari masyarakat yang berpengetahuan luas.
Fungsi media sebagai forum ini sering dibela dari perspektif pencarian kebenaran. Argumennya adalah hanya melalui pertemuan beragam opini yang berbeda itulah yang akan muncul kebenaran. Ini dikenal sebagai perspektif pasar ide. Setidaknya ada kritik terhadap pendekatan ini: banyak yang menentang gagasan pencarian kebenaran dalam politik. Menurut perspektif ini, politik adalah konflik nilai yang dalam analisis terakhir tidak dapat direkonsiliasikan.
Jadi, tidak ada kebenaran dasar atau konsensus fundamental yang bisa muncul melalui diskusi. Meskipun demikian tampaknya disepakati bahwa kebanyakan perdebatan mendapat manfaat dari ketersediaan informasi faktual dan dari diskusi tentang implikasi dari prioritas nilai-nilai yang berbeda terhadap area kebijakan.
Dalam masyarakar modern, politik tidak mungkin dilakukan tanpa adanya media. Tetapi ada kekhawatiran tentang sejauh mana media memberikan informasi dan perspektif yang diperlukan untuk pertimbangan cerdas atas manfaat dan implikasi dari kebijakan. Inilah akar keberatan dari pasar ide yang diaplikasikan kepada masyarakat modern. Bahkan jika memang ada kebenaran yang kontroversial, liputan media dewasa ini atas isu-isu tersebut tidak kondusif untuk membantu masyarakat menemukannya. Hiruk pikuk suara di pasar ide sekarang ini justru lebih sering membingungkan orang biasa ketimbang mencerahkan mereka (Graber, 2003:144). Dalam konteks elektoral, media juga banyak dikritik karena kurang memperhatikan substansi, lebih menyukai dimensi persaingan dan strategis dari politik elektoral (Patterson, 1993).
Kebanyakan riset tentang advertising politik fokus pada unsur negatif dan konsekuensinya. Karya klasik untuk kajian ini adalah Going Negative karya Ansolabehere dan Iyengar (1996), yang berpendapat bahwa advertising negatif menyebabkan sinisme tentang politik dan konsekuensinya, mengurangi pemilih khususnya di kalangan independen. Ini dikenal dengan hipotesis demobilisasi. Meskipun ada contoh pengaruh media yang dramatis dan penggunaan propaganda oleh pemerintah di seluruh dunia, ada perbedaan pendapat di kalangan masyarakat terhadap isu-isu politik. Hal ini menunjukkan bahwa kontrol pemerintah atas media tidaklah penuh, bahwa media masih menyajikan berbagai opini yang berbeda, dan bahwa orang tidak begitu saja menerima informasi media seperti menerima gospel.
Maka hal ini menunjukkan kebutuhan untuk memikirkan efek media secara berbeda. Pandangan dasar riset ini adalah, meskipun media jelas tidak – atau jarang mengubah perspektif publik secara dramatis atau secara cepat, ada acara-cara moderat, tetapi penting di mana media mempengaruhi pikiran publik melalui setting, priming dan framing. Selain memberikan informasi, media juga dapat menghadirkan ancaman sekaligus peluang kepada masyarakat dalam partisipasi politik, dan adalah penting untuk memikirkan lagi konsekuensinya bagi banyak orang yang berbeda. Bagi orang-orang yang kurang tertarik dengan politik, media menghadirkan kesempatan dan insentif untuk keluar rumah, untuk mendapatkan informasi politik, dan untuk berpartisipasi entah itu dengan kritik, saran, atau menghadiri pertemuan-pertemuan virtual. Lebih jauh karena kurangnya hubungan sosial, masyarakat kurang mengembangkan keterampilan dan minat yang dibutuhkan untuk partisipasi politik.
Sosialisasi dan kampanye politik merupakan inti dari demokrasi. Untuk memenangkan pemilu, seorang kandidat harus mendapat dukungan dari publik. Kualitas masyarakat demokratis dapat dihubungkan dengan kualitas kampanye pemilu. Pemilu yang ketat dan partisipasi voter yang luas adalah ciri utama bangsa dengan demokrasi yang kuat. Ruang maya atau media sosial merupakan sasaran utama yang dipilih oleh para politisi untuk melakukan kampanye dengan menyampaikan visi dan misi serta program kerja untuk meraup simpati publik. Selain memperluas jangkauan, hal ini dikarenakan internet perlahan-lahan menggantikan televisi sebagai media dominan yang dikonsumsi masyarakat atau voter.
Sejumlah ilmuwan politik menangkap gagasan sosialisasi dan berusaha memahami secara spesifik term politik. Gabriel Almond menyatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses pengenalan ke kultur politik. Produk akhirnya adalah seperangkat sikap – kognisi, standar nilai, perasaan – terhadap sistem politik, peran-perannya, dan terhadap pemegang peran (Almond, 1960:27). Harry Eckstein menyatakan sosialisasi politik adalah proses di mana nilai-nilai kognisi dan simbol dipelajari dan diinternalisasikan dan melalui hal tersebut norma sosial operatif politik ditanamkan, peran politik diinsttitusionalisasikan dan konsensus politik diciptakan entah itu secara efektif atau tidak (1963: 26).
Memperbincangkan relasi antara media dengan ranah politik adalah relasi yang dilematis. Hal ini dikarenakan sikap pemberitaan media yang tidak sepenuhnya netral dari intervensi politik maupun patronase kapital. Hal ini tentunya sangat paradoksal mengingat media merupakan pilar keempat dalam demokrasi setelah triaspolitika. Media berperan sebagai watchdog (anjing pengawas) dalam kekuasaan sehingga terciptalah check and balances dalam negara dan masyarakat. Pengawasan media tersebut terkait dengan fungsi sentralnya sebagai korelasi sosial (social corellations) untuk memandu publik dalam menerjemahkan berbagai realitas hiruk pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara ke dalam konsumsi informasi baik cetak maupun elektronik. Media berkuasa atas pengetahuan publik melalui framing teks dan gambar sehingga menjadi rujukan utama publik dalam membentuk opini mereka terhadap jalannya pemerintahan.
Besarnya pengaruh persuasif media tersebut justru menempatkan media dalam posisi rentan ketika dihadapkan pada nalar politik. Masyarakat pada dasarnya tidak menyukai pemberitaan yang panjang, tetapi cukup menerima secara instan informasi yang publik dapatkan sehingga menjadi nilai dan pola pikir bersama.
Maka, melalui sosialisasi yang dilakukan secara kontinu oleh media akan membentuk nilai-nilai afinitas dan afeksitas pemilih terhadap kandidat maupun partai dalam event pemilu. Nilai-nilai yang diterima dari media tersebut merupakan bentuk by product dan by design yang dikonstruksikan media. Artinya, terjadi proses transfer nilai dari media kepada pemilih melalui sosialisasi. Adapun pembentukan nilai-nilai itulah yang sejatinya rawan dipolitisasi oleh pihak tertentu. Wujud nyata penting dalam melembagakan demokrasi adalah pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat. Melalui media, kebebasan dalam bependapat, berdiskusi dan berdialog yang mengarah pada penerapan demokrasi delibaritaf (demokrasi berkelanjutan) dalam rangka kontrol terhadap penguasa diharapkan dapat tercapai. (*)
COMMENTS