Oleh: Michael Remizaldy Jacobus, S.H., M.H.
(Direktur MRJ Law Office & Lawyer For Business, Politics And Government)
PERTAMA-tama Saya memberikan apresiasi dan dukungan terhadap keputusan Menteri Agama Fachrul Razi yang telah memperkenankan kembali kegiatan keagamaan di rumah ibadah di masa covid 19. Langkah ini tidak hanya sebagai bagian dari new normal semata, tetapi menurut Saya adalah salah satu kebutuhan dan kerinduan umat yang tak bisa disangkal dilanda guncangan baik dari aspek kesehatan maupun ekonomi, sehingga dimensi spiritual menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pada prinsipnya Saya sependapat dengan isi Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15 Tahun 2020 tentang Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah Dalam Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid di Masa Pandemi. Akan tetapi, dari perspektif sebagai praktisi hukum perkenankan Saya memberikan beberapa catatan sekaligus solusi untuk mengoptimalkan daya aplikasi Surat Edaran ini sebagai berikut:
Tentang Kewajiban Surat Keterangan Rumah Ibadah Aman Covid
Saya tergerak menyampaikan tulisan ini setelah mendengar dialog disalah satu stasion TV antara Menteri Agama Fachrul Razi dan Ketua Umum Persatuan Gereja-gereja di Indonesia Pdt. Gomar Gultom, M.Th, ketika Ketum PGI selain memberikan apresiasi atas Surat Edaran Menag, tetapi juga sekaligus mengkritisi adanya kewajiban untuk setiap rumah ibadah memiliki Surat Keterangan Rumah Ibadah Aman Covid dari Ketua Gugus Tugas Provinsi/Kabupaten/Kota/Kecamatan.
Menurut Pdt. Gultom kewajiban memiliki surat keterangan rumah ibadah aman covid bisa saja dimanfaatkan orang tertentu untuk tidak memberikan izin beribadah kepada agama-agama tertentu. Saya memahami maksud Pdt. Gultom, karena sudah pasti bertolak dari fakta penutupan rumah ibadah dimasa sebelum covid telah menjadi realitas memprihatinkan dari kehidupan toleransi kita. Ketum PGI menyarankan ada baiknya ijin yang dikeluarkan bersifat umum disetiap wilayah zona hijau (aman covid) oleh Gugus Tugas, dan tidak perlu ada surat keterangan lagi.
Akan tetapi, dari pihak Menag sendiri memberikan penegasan kalau pengurusan surat keterangan pasti tidak akan merepotkan pengurus rumah ibadah. Bisa saja pengajuannya disampaikan melalui kelurahan untuk diteruskan ke Ketua Gugus Tugas Covid 19 Kabupaten/Kota, jadi akan diupayakan dimudahkan.
Tulisan ini tidak diuntuk mempertentangkan kedua argumentasi tersebut, tetapi bermaksud memberikan beberapa pemikiran yang bisa menjembatani secara hukum antara kekuatiran PGI dan harapan Menag, yakni:
Setelah saya membaca isi Surat Edaran tersebut ternyata maksud dari surat edaran tersebut adalah untuk kepentingan pengawasan, karena jika dalam pelaksanaan kegiatan dikemudian hari ternyata rumah ibadah menjadi cluster baru penyebaran Covid 19, maka surat keterangan ini akan dicabut dan kegiatan keagamaan bisa dihentikan lagi dirumah ibadah tersebut.
Oleh karenanya, tidak ada persoalan dengan kewajiban memiliki surat keterangan aman covid dimaksud. Akan tetapi agar kekuatiran Ketum PGI tidak terjadi, maka perlu ada langkah progresif dari Ketua Gugus Tugas Provinsi/Kabupaten/Kota/Kecamtan agar mengeluarkan keputusan tentang Zonasi Aman Covid 19 secara transparan dan didalamnya menegaskan tentang kelonggaran atau persetujuan untuk semua rumah ibadah diarea tersebut menyelenggarakan ibadah dengan mengurus surat keterangan aman covid. Dengan adanya penetapan zona aman covid langsung dari gugus tugas, maka otomatis menimbulkan hak kepada semua rumah ibadah diarea atau zona aman covid untuk dapat memiliki Surat Keterangan Aman Covid.
Dengan demikian upaya menghambat aktivitas peribadatan dapat diantisipasi, karena telah adanya “kebolehan hukum” atau legalisasi nyata dari gugus tugas covid 19 di wilayah tersebut sebagai otorita yang berkompeten untuk secara pasti memberikan kesempatan beraktivitas dirumah ibadah diwilayah yang telah dinyatakan “zona hijau”.
Tentang Pengawasan pelaksanaan Protokoler Kesehatan.
Surat Edaran Menteri Agama tersebut pada prinsipnya hanya mencantumkan tentang standar protokoler kesehatan dirumah ibadah, akan tetapi Saya tidak melihat adanya media kontrol didalamnya. Artinya, jika kemudian akan ada pengawasan terhadap penerapan new normal dalam rumah ibadah, maka siapa atau institusi apa yang berkewajiban untuk mengawasi.
Hal ini penting, karena ketidaktaatan terhadap protokol yang ditetapkan ataupun dalam kegiatan keagamaan membawa resiko penyebaran covid, maka aka nada sanksi pencabutan surat keterangan aman covid. Nah dari sisi sangat penting institusi pengawasnya. Oleh karena itu, menurut Saya sudah seharusnya Gugus Tugas dimasing-masing tingkatan segera meresponi edaran ini melalui Penugasan anggotanya untuk melakukan pengawasan bekerjasama dengan dinas kesehatan masing-masing daerah, tujuannya tidak semata-mata mengawasi tetapi juga mengedukasi supaya Jemaah atau jemaat belajar taat dengan tatanan new normal life.
Tentang kewajiban memastikan peserta kegiatan dirumah ibadah khususnya akad pernikahan/pemberkatan nikah dalam kondisi sehat dan negatif covid-19
Poin 6 surat edaran menyebutkan untuk kegiatan seperti akad nikah, diberikan tambahan ketentuan yakni memastikan semua peserta yang hadir dalam kondisi sehat dan negatif covid 19. Untuk memastikan negatif Covid 19, maka pengurus rumah ibadah sudah tentu harus memiliki tolok ukur, dengan demikian hasil Rapid test dan atau SWAB test.
Menurut Saya ketentuan ini tampaknya kontradiktif, karena dalam ibadah rutin saja dengan jumlah yang pasti lebih banyak dalam acara akad nikah, tidak ada kewajiban untuk memastikan negatif covid, akan tetapi menurut poin 6 huruf b Surat Edaran sudah menegaskan pembatasan jumlah kehadiran dalam acara tersebut tidak boleh lebih dari 30 orang. Dengan demikian seharusnya tidak diperlukan lagi tes negatif covid, sehingga ada baiknya Poin 6 huruf a Surat Edaran khususnya memastikan negatif covid 19 ditinjau kembali.
Semoga catatan ini dapat turut mengoptimalkan keleluasaan beribadah dengan tetap taat protokoler kesehatan guna pencegahan penanggulangan Covid 19. Welcome New Normal Life. (*)
COMMENTS