Injil Matius 21: 1-11
Ketika Yesus dan murid-murid-Nya telah dekat Yerusalem dan tiba di Betfage yang terletak di Bukit Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya dengan pesan: “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu, dan di situ kamu akan segera menemukan seekor keledai betina tertambat dan anaknya ada dekatnya. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah keduanya kepada-Ku.
Dan jikalau ada orang menegor kamu, katakanlah: Tuhan memerlukannya. Ia akan segera mengembalikannya.”
Hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi:
“Katakanlah kepada puteri Sion: Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.”
Maka pergilah murid-murid itu dan berbuat seperti yang ditugaskan Yesus kepada mereka.
Mereka membawa keledai betina itu bersama anaknya, lalu mengalasinya dengan pakaian mereka dan Yesus pun naik ke atasnya.
Orang banyak yang sangat besar jumlahnya menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang memotong ranting-ranting dari pohon-pohon dan menyebarkannya di jalan.
Dan orang banyak yang berjalan di depan Yesus dan yang mengikuti-Nya dari belakang berseru, katanya: “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosana di tempat yang mahatinggi!”
Dan ketika Ia masuk ke Yerusalem, gemparlah seluruh kota itu dan orang berkata: “Siapakah orang ini?”
Dan orang banyak itu menyahut: “Inilah nabi Yesus dari Nazaret di Galilea.”
• Introduksi
Hari-hari prapaskah dan minggu sengsara telah kita lalui dalam sunyi dan sepih. Tak ada lantunan pujian dan permohonan. Tak ada kesibukan di gereja-gereja yang mempersiapkan perayaan Minggu Palem sebagaimana yang terjadi sebelum tahun 2020, tahun Covid19 ini. Kesemarakan kemenangan Paskah nampaknya dibungkam oleh ancaman Virus Corona. Yang ada hanyalah wajah-wajah cemas akan hari esok, jangan-jangan virus ini menjangkiti kita dan orang-orang yang kita kasihi. Kecemasan dan kekhawatiran itu juga terwujud dalam jarak sosial yang dibatasi lantaran takut akan tertular. Ekspresi keakbaran juga berkurang drastis, dari peluk cium, menjadi “salam Namaste” berjarak 2 meter.
• Kisah kerinduan hati
Kemarin pagi, sepasang suami istri muncul di pintu gereja. Sang istri bertanya:”Pastor, apakah besok ada misa di sini?”
“Ada misa. Tapi tidak ada umat. Umat wajib ikut Misa dari rumah masing-masing, lewat siaran live streaming”.
Tergambar sedikit kesedihan di matanya. Ia merindukan misa di gereja. Untuk memecahkan kebuntuhan percakapan itu, ia bertanya lagi:
“Pastor, apa masih ada beras dan ikan dan lain-lain?”
Saya hanya memberikan senyuman.
“Pastor, apa pastor masih punya bekal dalam dompet? Kan tak ada misa bersama umat. Juga tak ada kolekte dan sumbangan-sumbangan lainnya. Kan pastor hidup dari Misa dan pelayanan sakramen. Kalau hari-hari ini tak ada, bagaimana?”
Sambil tersenyum saya menjawab:”Bu, tenang saja. Tuhan pasti menyediakan rejeki untuk anak-anak-Nya”.
“Pastor, saya ada bawa pisang ambon satu tandan, terung satu kantong dan lemon satu baskom untuk meningkatkan daya tahan tubuh pastor dan kawan-kawan”.
“Makasih banyak Bu”.
“Pastor, besok kita tidak bisa bertemu. Kita ikut misa dari rumah. Jangan lupa kirim berkat dan doa untuk kami”.
“Pasti Bu”.
• Kembali ke Rumah dan Hati
Kisah nyata ini menjadi gambaran singkat tentang betapa berat rasa yang dipikul umat manusia saat ini. Berat karena, kerinduan jiwa akan rasa spiritual yang tak dapat dipuaskan dengan datang sendiri ke ibadah di gereja bersama satu keluarga besar jemaat Allah. Kebersamaan sebagai kaum beriman, terpisah untuk sementara waktu demi sesuatu yang serius dan mendesak: menjaga kehidupan yang diberikan Tuhan kepada kita. Ibarat kita berada dalam perang, kita harus menjalani suatu masa darurat dan melatih hati dan batin kita untuk hidup sebagai orang beriman yang memiliki kewaspadaan. Itu sama saja dengan orang-orang Israel yang berjaga dalam kewaspadaan ketika menantikan Paskah Perjanjian Lama, Tuhan lewat melawati rumah-rumah mereka. Itu berarti, apapun alasan kita, sekalipun terasa berat, sekalipun terasa sedih sampai meneteskan air mata, kita harus kembali ke rumah kita masing-masing. Kita harus kembali ke dasar kehidupan kita, back to home.
Kita kembali ke rumah dan tidak hanya tiba pada pintu rumah. Kita harus masuk terus ke dalam sampai ke dasar hati batin kita, tempat sebenarnya Tuhan bertakta. Kita harus masuk ke rumah dan hati kita, dan menyiapkan ucapan selamat datang yang pantas bagi Sang Raja Kemuliaan. Ucapan selamat datang bagi Raja Kemuliaan, Hosanna dan Kemuliaan bagi Sang Raja Damai harus ada dalam rumah dan hati kita lantaran, gereja-gereja telah tertutup untuk sementara waktu karena Virus Corona.
Kita masuk ke dalam rumah dan hati kita untuk mengucapkan selamat datang dalam suatu “sensuum fidei”, suatu rasa beriman dari relung hati kita sambil menyatukan rasa ini dengan rasa seluruh umat beriman yang juga beribadah dari rumah dan hati masing-masing. Tentunya, kerinduan untuk mengikuti ibadah Minggu Palem dan Tri Hari Suci begitu kuat menggelora dalam batin hati umat beriman. Kerinduan ini dapat dipenuhi dengan mengikuti lewat Ekaristi bersama secara live streaming, dalam doa yang mendalam dan dengan kesungguhan hati yang menyediakan waktu untuk Tuhan di rumah.
• Pujian untuk Sang Raja Kemuliaan
Kedatangan Raja Kemuliaan, Yesus Kristus harus disiapkan dengan baik dalam hati dan rumah kita, karena ada beberapa alasan. Pertama, Tuhan mau agar kita menjemput dan memuji Dia. Bisa saja batu-batu diperintahkan untuk memuji-Nya. Namun itu tidak dilakukan-Nya karena hanya manusia dan hanya manusia yang dapat memuji Tuhan-Nya. Pujian kepada Raja Kemuliaan, Tuhan itu hanya dapat dilakukan oleh manusia dan hanya oleh manusia yang hidup. Kedua, Yesus datang bukan sebagai seorang kaisar atau raja yang haus perang. Kalau raja yang datang untuk berperang, maka yang dikendarai adalah kuda dan kendaraan perang lainnya. Yesus datang sebagai Raja Damai. Ia menunggang seekor keledai jantan. Keledai adalah simbol perdamaian. Yesus datang dalam kelemahlembutan, dengan keledai tunggangan-Nya dan sorak sorai sukacita dan damai. Ketiga, Yesus tidak saja datang untuk satu bangsa. Ia tidak dibatasi oleh teritori Israel sebagai suatu negara. Ia datang untuk anak-anak dari bangsa Israel Baru. Anak-anak yang akal budi, hati dan seluruh dirinya dikuasai oleh damai, sukacita dan kelemahlembutan serta kasih sayang Tuhan Yesus Kristus, Sang Rasa segala Bangsa.
Santo Agustinus, seorang bapa Gereja menulis: “Sang Guru kerendahan hati, yakni Kristus, yang merendahkan diri-Nya sendiri dan menjadi taat, bahkan taat sampai mati, bahkan mati di salib. Apa yang menjadi hal yang begitu luar biasa pada Raja segala zaman ini sehingga dapat menjadi Raja semua manusia? Sebab Yesus Kristus bukanlah raja Israel agar Ia bisa saja menaklukkan musuh. Ia adalah Raja Israel dalam artian Dia yang merajai akal budi, dalamnya Ia memberi anjuran kepada kehidupan kekal, anjuran yang menghantar manusia kepada Kerajaan Surgawi bagi mereka yang percaya, berharap dan mengasihi. Inilah sikap kerendahan hati, bukan suatu penonjolan diri lantaran Dia yang adalah Sang Putra Allah, yang sama dengan Bapa, Sang Sabda melalui Dia segala sesuatu diciptakan, menjadi Raja Israel. Ini merupakan suatu indikasi dari rasa belaskasih, bukan suatu usaha menunjukkan kekuasaan.” (Traktat pada Yohanes 51.3-4).
Yesus, Raja Kemuliaan itu hendak datang ke rumah dan hati kita. Ia mau berjalan mengunjungi kita. Betapa rendah hati-Nya seorang Raja seperti ini.
Doa:
“Tuhan Yesus, jadilah Raja dan Penguasa hati, akal budi dan kehidupan dan keluargaku, terutama di saat-saat umat manusia dicekam ketakutan Virus Corona ini. Kiranya hidupku menjadi cerminan dari kelembutan dan kerendahan hati-Mu, agar Engkau boleh dihormati sebagai Raja Kemuliaan. Ya Raja Kemuliaan, kami serahkan nasib hidup kami ke dalam tangan-Mu”. Amin.
John Lebe Wuwur, OCD
Sacred Heart Church Sonder,
Minahasa, North Sulawesi.
COMMENTS