HomeKolom & Interaktif

New Normal + Budaya Hukum Masyarakat Yang (Masih) Abnormal = New Problem

New Normal + Budaya Hukum Masyarakat Yang (Masih) Abnormal = New Problem

 

Oleh: Michael Remizaldy Jacobus SH., MH., CLA., CPL

(Director of MRJ Law Office and Lawyer For Business, Politics and Government)

SAYA salah satu pendukung new normal system yang saat ini menjadi pilihan pemerintah untuk memulihkan keadaan ekonomi nasional yang terus merosot. Menurut saya ini memang pilihan yang sukar, tapi langkah terbaik untuk tetap eksis ditengah pandemi covid 19.

Inti dari tatanan kehidupan new normal tentu tidak sama dengan normal life yang diberlakukan oleh beberapa negara yang tergolong sukses hadapi corona katakanlah seperti Taiwan, Korea Selatan, Jerman maupun Selandia Baru. New normal tidak lebih dan tidak kurang adalah menghidupi kehidupan normal dengan taat protokoler kesehatan seperti rutin mencuci tangan atau membawa handsanitizer, jaga jarak, gunakan masker, membatasi kerumunan atau memaksimalkan kerja dirumah atau kerja secara online, singkatnya ialah hidup taat protokol kesehatan.

Walaupun demikian, memang mentransformasi prilaku dari normal ke new normal tidak semudah membalik telapak tangan, karena ditengah melonjaknya angka pasien positif nasional yang mencapai 30-an ribu dan Sulut sendiri menyentuh angka lebih dari 400-an orang, maka new normal bisa menjadi new problem jika tidak diterjemahkan secara hati-hati.

Membangun kultur new normal setidaknya harus ditunjang oleh Sistem Hukum yang kuat, sebab seperti pendapat Roesco Pound (1870-1964) salah satu pemikir aliran hukum social jurisprudence yang menyebutkan law as a tools of social engeneering (hukum sebagai alat rekayasa sosial) dan law as a tools of social control (hukum sebagai alat kontrol sosial). Sistem hukum akan berfungsi merekayasa masyarakat untuk taat pada tatanan hidup new normal, tetapi juga akan mengontrol agar tidak menyimpang.

Menurut pemikir hukum Amerika Serikat Lawrence Meil Friedman dalam bukunya The Legal System: A Social Sciences Perspective (1975), sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).

Baca Juga  Hendrika dan Klaim Atas Kewarganegaraan

Substansi hukum (legal substance), berarti aturan, norma, dan pola perilaku orang-orang di dalam sistem yang sebenarnya, penekanannya adalah hukum hidup (living law), bukan hanya peraturan dalam perundang-undangan (law in book), walaupun jika dikaitkan di Indonesia sebagai penganut sistem hukum eropa continental, maka law in book masih menjadi panduan utama. Struktur hukum (legal structure) berkaitan dengan kelembagaan atau penegak hukum termasuk kinerjanya (pelaksanaan hukum).

Sedangkan, budaya hukum (legal culture) diartikan sebagai sistem kepercayaanya, nilai-nilai, idea dan dugaan. Budaya hukum merujuk, kemudian ke kebiasaan budaya umum, cara melakukan pendapat dan berpikir kearah kekuatan sosial dari hukum dan dengan cara tertentu. Dengan kata lain, apakah iklim pemikiran sosial dan kekuatan sosial pasti menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.

Tulisan ini lebih saya fokuskan pada budaya hukum masyarakat (legal culture) sebagai salah satu sub sistem yang sangat influensif eksistensinya dalam pembentukan new norma as a legal culture (tatanan kehidupan baru sebagai budaya hukum). Sebab seperti yang dikatakan Friedman: “Without legal culture, the legal system is inert-a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea. (tanpa budaya hukum, maka sistem hukum tak berdaya seperti ikan mati dalam keranjang, bukan ikan hidup yang berenang dilaut). Apalah artinya, instrument hukum berupa peraturan perundang-undangan yang komplit dan struktur hukum yang jelas tanpa budaya patuh masyarakat.

Jika direlevansikan dengan new normal life, maka Saya berpendapat bahwa budaya hukum (legal culture) akan menjadi penentu bagi terciptanya new normal. Protokoler kesehatan yang sempurna akan menjadi seperti “barang mati” yang tak berguna tanpa kepatuhan masyarakat. Kepatuhan hukum masyarakat akan terlihat melalui ketaatan yang tulus terhadap protokoler kesehatan yang sudah didesain pemerintah.

Baca Juga  Pasca Pandemi Covid-19, Akankah Sosialisme?

Ketaatan yang tulus adalah wujud pemahaman yang mendalam dari masyarakat, sebagaimana kesaksian dari salah satu peserta seminar online yang saya ikuti beberapa hari lalu tentang warga negara Indonesai di Taiwan yang menceritakan bahwa angka pasien positif covid 19 mencapai 400-an dan yang meninggal hanya 7 orang selebihnya sembuh, karena betapa sadarnya mereka menaati protokoler kesehatan lonjakan kasus dapat dikendalikan.

Kesadaran untuk patuh seharusnya merupakan ekspresi tanggungjawab sosial atas resiko kesehatan jika diri seseorang sakit tidak hanya akan berbahaya bagi dirinya sendiri tetapi membahayakan orang lain disekitarnya. Laksana aturan penggunanaan helm untuk pengendara motor, seharusnya dipahami sebagai aturan yang hendak menyelamatkan si pengendara, dan bukan menyelamatkan polisi yang menindaki pelanggar.

Rakyat kita perlu diedukasi kalau ujung tombak perlawanan covid 19 seharusnya bukan tenaga kesehatan, tetapi masyarakat secara menyeluruh. Sebaliknya, kultur hukum yang tidak patuh akan berdampak pada tertularnya banyak orang bahkan kita lihat saja ada banyak tenaga medis yang hari ini jadi korban akibat kultur hukum yang tidak taat. Budaya hukum yang meremehkan aturan (sudah tahu aturan tapi suka langar aturan) adalah kondisi budaya hukum yang abnormal, sehingga sangat penting menemukan strategi tepat dalam rangka menormalisasi budaya hukum masyarakat agar bisa selaras dengan protokol kesehatan.

Kunjungan Saya ke Davao Oktober 2019 yang lalu sedikitnya memberikan pelajaran tentang budaya hukum ketika mengamati bagaimana orang Davao taat dengan larangan tidak merokok diarea publik. Saya menjumpai bagaimana office boy Hotel yang menerangkan kalau mereka semua tidak merokok dan rata-rata laki-laki di Davao tidak merokok. Fakta itu terkonfirmasi dengan pantauan Saya, bahkan sahabat Saya perokok pun kebingungan mencari smooking area. Sejak Duterte menjadi Walikota Davao aturan dilarang merokok diarea publik dilakukan secara ketat baik lewat edukasi, pengawasan maupun penindakan dengan sanksi yang berjenjang. Mulai dari denda, kerja sosial sampai dengan kurungan badan (penjara).

Baca Juga  Apakah Etika Kita Sudah Mulai Runtuh?

Kesimpulan Saya langkah membangun budaya hukum yang patuh (normalnya memang harus patuh) paling tidak dapat dijalankan lewat REGULASI, EDUKASI dan EKSEKUSI. REGULASI adalah langkah penetapan aturan didalamnya protokol kesehatan yang berbasis penelitian dan bukan hanya asumsi atau duplikasi (copy-paste), sehingga masyarakat yang hari ini begitu mudah belajar dari internet (masyarakat digital) mendapat panduan langsung dari pemerintah melalui regulasi yang jelas dan teruji atau terverifikasi melalui data dan penelitian, dan tidak sembarangan menyerap informasi.

Regulasi nasional, seharusnya diterjemahkan oleh Pemerintah Daerah melalui regulasi daerah yang didalamnya mencantumkan sanksi-sanksi yang tegas berupa teguran, denda, kerja sosial, pencabutan hak-hak tertentu, bahkan hukuman badan (penjara). EDUKASI adalah transfer informasi terus-menerus dengan dasar data dan penelitian yang terus dibaharui, sehingga dapat membangun pengertian sosial yang dewasa, bahkan edukasi yang diwujudkan melalui keteladanan sosial mulai dari pemerintah maupun pemimpinan masyarakat, karena tindakan selalu bicara lebih lantang dari kata-kata. Dan tahap ketiga adalah EKSEKUSI sebagai upaya terakhir berupa penindakan atau penjatuhan sanksi-sanksi secara berjenjang dan tanpa pandang buluh, saya optimis akan terus membentuk budaya taat. Sebab tanpa budaya hukum yang patuh peningkatan, maka angka pasien covid 19 yang tidak bisa tertangani akan menjadi realita yang akan kita tangisi dari generasi ke generasi, inilah yang saya maskudkan dengan new problem. Please remember: new normal + budaya hukum masyarakat yang abnormal = new problem. (*)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0