Pada masa pandemi covid-19, mencuci tangan adalah salah satu protokol kesehatan. Pada awal kita pasti merasa kerepotan kalau harus terus cuci tangan, namun perlahan-lahan kita menyadari hal ini penting bagi kesehatan kita. Mencuci tangan bukan saja menghindarkan kita dari covid, tapi juga membantu kita memiliki perilaku hidup bersih. Semakin sering kita mencuci tangan tanpa sadar hal ini menjadi kebiasaan kita. Kita tak lagi merasa risih tapi merasa butuh dan wajib untuk cuci tangan setelah melakukan aktivitas atau memegang sesuatu.
Sangat menarik bahwa cuci tangan menjadi polemik pada masa Yesus. Kaum Farisi mengkritik Yesus karena para murid makan dengan tangan kotor. Mereka mengkritik bukan karena alasan kesehatan tapi alasan ritual keagamaan. Bagi orang Farisi, mencuci tangan adalah bentuk ritus pengudusan. Siapapun yang pulang dari perjalanan harus membersihkan tubuhnya sebelum masuk ke rumah dan mencuci tangannya sebelum makan. Sekali lagi bukan demi kesehatan tapi demi kekudusan. Sebab kontak dengan orang-orang Yahudi membuat mereka menjadi najis. Oleh karena itu mandi dan cuci tangan membersihkan kenajisan dan mengembalikan kekudusan.
Yesus memiliki pandangan yang beda tentang kekudusan. Bagi Yesus, kekudusan tidak ada kaitannya dengan mandi dan cuci tangan. Kekudusan itu berkaitan dengan hati. Hati menjadi sumber kehidupan manusia. Apa yang ada di dalam hati manusia menentukan dan mempengaruhi hidup manusia. Apabila hati seseorang dipenuhi kebaikan, maka ia akan menjadi pribadi yang baik pula. Sebaliknya, apabila hatinya jahat, ia akan menjadi pribadi yang jahat pula. Maka Yesus bersabda, “Apapun yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskan dia! Tapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskan dia!” Dengan demikian, bagi Yesus najis terkait tangan kotor atau tidak mandi, tapi terkait tindakan-tindakan yang jahat.
Saudara terkasih, Yesus menyadarkan kita bahwa hidup kudus berawal dari hati dan bermuara pada tindakan-tindakan baik. Maka penting bagi kita untuk senantiasa membersihkan hati. Kita membuang dari dalam hati kita, kemarahan, benci dan dendam, hawa nafsu dan serakah, kelicikan dan kesombongan. Sejalan dengan itu kita perlu untuk mengisi hati kita dengan nilai-nilai yang baik, seperti kejujuran, keadilan, kebaikan hati, kemurahan dan cinta kasih. Tindakan inilah yang disebut bertobat.
Namun pertobatan tidak berhenti di situ, tapi harus berlanjut dalam perbuatan-perbuatan baik. Kita perlu untuk mewujudnyatakan nilai baik yang kita hayati. Dalam nasehat Rasul Yakobus, kita mesti menjadi pelaku firman, bukan saja pendengar. Pelaku firman melaksanakan apa yang didengarkannya. Sedangkan pendengar tidak melaksanakan apa yang didengarkan. Kalau mau menjadi jujur, tidak cukup mengakui bahwa kita jujur, tapi kita mesti berkata dan bertindak jujur. Kalau mau jadi murah hati, kita mesti rela berbagi saat kita peduli pada orang lain. Kalau kita mau jadi adil, kita harus bisa memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia. Dengan begitu kekudusan menjadi sungguh tampak. Sehingga kita tidak sekedar mengakui iman di bibir tapi menghayati dalam hati dan menwujudnyatakannya dalam hidup sehari-hari. Selamat hari minggu. Tuhan memberkati anda sekalian.
Penulis:
COMMENTS