SIAPA yang tak kenal Pendeta (Pdt) Hanny Pantouw STh? Dia adalah seorang tokoh agama sekaligus tokoh adat dan tokoh masyarakat Sulawesi Utara. Karenanya, jejakpublik.com tertarik untuk mengulas sepenggal potret kehidupan dari sosok yang sangat inspiratif ini.
Jadi Orang Tua Wali Pria Muslim asal Ternate Untuk Melamar Wanita Muslim di Manado
Ada cerita menarik yang terlupakan namun sangat inspiratif karena mengandung pesan toleransi beragama.
Ketika memulai kehidupan baru sesudah pertobatan, Pdt Hanny dan istrinya Gembala Maidy Palar sempat menampung seorang pria muslim asal Ternate di rumahnya. Ketika itu tahun 1999 terjadi konflik bernuansa keagamaan yang terjadi di Propinsi Maluku Utara, khususnya di Kota Ternate.
Konflik ini membuat orang tua dari pria muslim tersebut kuatir dengan keselamatan anak mereka. Apalagi anak mereka tinggal bersama seorang pendeta.
Kekuatiran ini pun diutarakan pria muslim itu kepada Pdt Hany dan istrinya. Namun respon Pdt Hanny mengejutkan. Di mana Pdt Hanny dengan tegas menyatakan dia dan keluarganya akan melindungi pria muslim tersebut.
“Saya katakan kepada dia (Pria muslim, red) tidak akan ada yang akan menyakitinya. Selama dia bersama kami dia aman. Bahkan saya katakan jika ada yang coba-coba ingin mengganggunya, akan berhadapan dengan saya,” kata Pdt Hanny di sebuah kesaksian di perayaan HUT Pernikahan keluarga Pantouw -Palar ini.
Tak hanya itu. Saat pria muslim itu hendak menikahi kekasihnya wanita muslim yang tinggal di Kampung Ternate Manado, Pdt Hanny dan istri menjadi orang tua wali. Kedua pasutri ini mendampingi pria muslim itu saat melamar kekasihnya. Bahkan Pdt Hanny dan istrinya terus mendampingi dan membantu pria muslim itu hingga menikah. Hal tersebut membuat pria muslim dan keluarganya yang datang dari Ternate untuk menyaksikan pernikahan tersebut bersama keluarga dari istrinya serta masyarakat terkagum-kagum.
Gelar KKR Bersama Preman dan Mantan Preman di Jakarta
Cerita menarik lain di tahun 2002 atau 6 tahun sesudah pertobatannya. Berawal ketika Pdt Hanny berangkat ke Jakarta. Namun keberangkatannya ke Kota Metropolitan tersebut bukan untuk kembali ke dunia hitam, sebagaimana yang dilakoninya pada tahun 1969- 1997.
Keberadaan Pdt Hanny di Jakarta untuk menggelar dan memimpin Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Dalam KKR itu turur hadir Pdt. Yohanes Thomas Advent Bangun atau lebih dikenal dengan nama Advent Bangun, yang adalah seorang aktor Indonesia yang kerap berperan dalam film-film laga pada dekade 1980-an, yang sejajar dengan pemain laga lainnya Barry Prima, George Rudy, Johan Saimima dan Ratno Timoer.
Yang mengejutkan, peserta yang hadir adalah para preman dan mantan preman se-Jakarta. Bahkan ada beberapa kepala geng preman hadir dalam KKR itu, diantaranya dua preman yang memiliki banyak pengikutnya yang berasal dari Ambon, yakni John Kei dan Milton Matuanakotta, Kedua kepala geng preman ini bersahabat dekat dengan Pdt Hanny baik sejak sama-sama jadi preman jalanan di Kota Jakarta maupun setelah bertobat.
Diketahui nama John Kei sudah tak asing lagi dalam kasus kriminalitas di Indonesia. Dirinya tercatat pernah terlibat kasus pembunuhan. Ia bahkan diberi gelar “Godfather Jakarta” karena mampu berbisnis layaknya mafia tetapi jarang tersentuh aparat kepolisian. Hanya satu kasus pembunuhan yang membuat John Kei mendekam di balik jeruji besi, yakni pembunuhan Tan Harry Tantono alias Ayung (45), pengusaha peleburan besi baja, PT Sanex Steel Indonesia (SSI), yang kini berubah nama menjadi PT Power Steel Mandiri.
Sementara Milton adalah sosok preman Ambon yang juga disegani di kalangan para preman Ambon di Jakarta. Ia turun ke tengah-tengah gelanggang dunia persilatan preman di Jakarta dengan penuh kharisma. Milton memiliki sebegitu banyaknya anak buah di kalangan preman Ambon, baik yang beragama Kristen maupun yang beragama Islam. Dengan cepat ia menjadi populer dan ditakuti di Jakarta karena sosoknya yang berwibawa dan punya jiwa kepemimpinan. Milton juga dikenal dengan sebutan Yakusa karena sering melakukan aksi terbang dan menghilang.
Komit Jaga Sulut dari Teroris, Nekat Tantang Komandan Mujahidin Perang Terbuka Meski Nyawa Taruhannya
Meski telah mengabdikan dirinya sebagai gembala, guru dan pemimpin untuk melayani jemaat, memperhatikan warga jemaat, melakukan penggembalaan serta aktif di kegiatan kemanusiaan membantu pemerintah dan generasi muda dari ancaman narkoba dengan mendirikan Panti Rehab Narkoba, Pdt Hanny ternyata juga sangat konsisten terhadap masalah yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) Sulut.
Hal itu terlihat ketika Pdt Hanny dipercaya memimpin Ormas Adat Brigade Manguni Indonesia (BMI) sebagai Ketua DPD Sulut. Lewat ormas ini, Pdt Hanny tidak menanamkan kebaikan dan nilai-nilai rohani serta menumbuhkembangkan kepedulian yang besar dalam diri para Brigade Manguni melalui pelbagai aksi kepedulian nyata lewat sejumlah aksi kemanusiaan, tapi menanamkan semangat rela berkorban dan bela negara kepada para Brigade Manguni dan bahkan siap mati menjaga Bangsa Indonesia, lebih khusus Provinsi Sulut dari prlbagai ancaman Kamtibmas.
Apalagi kala itu lagi ramai-ramainya ancaman teroris di Poso, Sulawesi Tengah, daerah yang berdekatan dengan Sulut. Di mana beroperasinya Mujahidin Indonesia Timur (MIT), sebuah kelompok teroris asal Indonesia yang beroperasi di wilayah pegunungan Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi, Sulawesi Tengah sekitar tahun 2012.
Di mana saat itu Indonesia dihebohkan dengan aksi teror bom dan pembakaran gereja di Poso serta disusul dengan beredarnya surat dari Komandan MIT Syaikh Abu Wardah alias Santoso yang menantang Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) untuk perang terbuka. Surat tertanggal 14 Oktober 2012 yang beredar di internet itu disampaikan dalam tiga bahasa.
Mengingat Sulut berdekatan dengan Poso, Pdt Hanny langsung bereaksi keras. Ia tak akan tinggal diam jika pentolan pelaku teror Poso tersebut menginjakan kaki di Sulut. Bahkan tak tanggung-tanggung Pdt Hanny menantang Komandan MIT Santoso untuk bertarung meski harus mati.
“Kalau teroris Poso tantang Densus 88 perang, kami dari BMI Sulut menantang teroris bertarung sekalipun harus taruhan nyawa,” tegas Pdt Hanny sebagaimana dimuat dalam Surat Kabar Harian Komentar terbitan tanggal 23 Oktober 2012.
Sikap tegas dengan resiko siap mati terus disuarakan Pdt Hanny. Bahkan dengan kejadian aksi teror di Poso itu Pdt Hanny memerintahkan pasukan khusus BMI untuk berlatih jika sewaktu-waktu harus bertarung dengan kelompok teroris tersebut. Dan setiap ada aksi penyerangan dan pembakaran Gereja serta pembunuhan oleh kelompok teroris, Pdt Hanny langsung bereaksi keras sembari meningkatkan kewaspadaan menjaga Sulut dari ancaman teroris itu dengan bersinergi bersama Pemerintah, TNI/Polri dan ormas-ormas yang ada di Sulut. (Bersambung)
COMMENTS