HomePemerintahan

Dari Sulut Untuk Indonesia: Pendeta Hanny Pantouw, Preman Ibu Kota Yang Kini Jadi Tokoh Toleransi Nasional

Dari Sulut Untuk Indonesia: Pendeta Hanny Pantouw, Preman Ibu Kota Yang Kini Jadi Tokoh Toleransi Nasional

FOTO: Pendeta Hanny Pantouw saat membawakan Firman Tuhan dan renungan di ibadah LMI (Kiri) dan saat membawakan sambutan di acara Silaturahmi LMI dan Kakanwil Kemenag Sulut bersama para tokoh agama dan umat Islam.

INDONESIA merupakan sebuah negara yang sejak awal dibangun dengan semangat toleransi dan kerukunan beragama. Kini seiring berjalannya waktu, Indonesia telah menjelma menjadi negara terbesar keempat di dunia. Berpenduduk 276 juta orang lebih, ada 1340 suku, ada 800 lebih bahasa lokal, 300 etnis, ada 3 provinsi baru di Papua menjadi 37 propinsi, ada 500 lebih kabupaten kota, ada 17.500 pulau, ada 6 agama di luar aliran kepercayaan.

Keberagaman ini di satu sisi merupakan anugerah terindah dari Tuhan, namun juga berpotensi merusak tatanan toleransi dan kerukunan beragama. Karena itu dibutuhkan komitmen yang kuat dan terus menerus untuk menjaga dan merawat toleransi dan kerukunan beragama di tengah keberagaman tersebut, tak hanya dilakukan pada skala nasional tetapi juga di daerah-daerah.

Di Provinsi Sulawesi Utara, komitmen menjaga dan merawat toleransi dan kerukunan beragama di tengah keberagaman tersebut, ada dalam diri Pendeta Hanny Pantouw STh, Ketua Gereja Bethel Indonesia (GBI) Kota Manado yang juga adalah Ketua Umum / Tonaas Wangko Dewan Pimpinan Pusat Laskar Manguni Indonesia atau disingkat LMI.

Pendeta Hanny lahir dari keluarga besar namun miskin. Sejak remaja hingga dewasa ia menjalani hidup yang keras namun kelam. Dari Kota Manado dia merantau dan menjadi preman di ibukota Jakarta. Hidupnya diwarnai dengan berkelahi antar geng, mencuri dan merampok, mengkonsumsi miras dan narkoba hingga membuatnya bergelimang harta namun jatuh dalam lumpur dosa. Walau kerap keluar masuk penjara itu tak membuatnya kapok.

Namun Tuhan mengubah hidup Pendeta Hanny dan menjalani hidupnya dari nol. Saat kembali ke kampung halamannya (Manado, red) dan menikah dengan istri tercinta Maidy Palar, Tuhan mengangkat dia dari lumpur dosa. Ia bertobat setelah mengalami perjumpaan yang luar biasa dengan Tuhan dan menjadi seorang Pendeta.

Tuhan telah menaruh rencana besar dan mulia dalam diri Pendeta Hanny. Ia mulai melakukan pelayanan sebagai hamba Tuhan demi menyelamatkan jiwa-jiwa yang tersesat, baik di dalam penjara, di jalanan, di rumah sakit dan di rumah-rumah warga, hingga akhirnya mendirikan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Harmagedon yang berlokasi di jalan Sea.

Kemudian Pendeta Hanny masuk dalam sebuah organisasi adat bernama Brigade Manguni Indonesia (BMI), dan menjabat sebagai Ketua DPD Sulut dengan sebutan Tonaas.

Nama Pendeta Hanny mendadak terkenal dan viral ketika tahun 2012 saat ramai-ramainya ancaman teroris di Poso pada tahun 2012, ia berani menantang Santoso, sang Komandan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), sebuah kelompok teroris asal Indonesia yang beroperasi di wilayah pegunungan Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi, Sulawesi Tengah, untuk bertarung dengannya meski ia harus mati, karena ingin menjaga dan merawat toleransi beragama di Sulut, yang berdekatan dengan Poso. Ia tak ingin keberagaman Indonesia termasuk Sulut luluh lantah oleh kaum intoleran dan radikal.

Aksi keduanya yang juga viral ketika Pendeta Hanny turun langsung menghadang dan menggagalkan eksekusi terhadap gereja di Kota Manado diantaranya Gereja Bethel Indonesia (GBI) Batusaiki Kecamatan Bunaken, Kota Manado yang hendak dilakukan Pengadilan Negeri Manado dengan dikawal aparat kepolisian.

Seiring berjalannya waktu, Pendeta Hanny akhirnya memutuskan keluar dari BMI dan mendirikan Ormas Adat bernama Laskar Manguni Indonesia yang disingkat LMI 7 tahun silsm. Komitmen toleransinya tetap hidup di mana kepengurusan ormas ini berasal dari lintas suku dan agama. Meski ia sebagai seorang Pendeta, namun pengurus LMI tidak hanya berasal dari agama Protestan, tapi juga dari agama Katolik, Islam, Hindu, Budha dan Konghucu. Meski ia berasal dari etnis Minahasa namun kepengurusannya berasal dari pelbagai suku atau etnis baik di Sulut maupun Indonesia.

Tangan dingin Pendeta Hanny, LMI dalam waktu singkat di usia yang terbilang sangat muda menjelma menjadi ormas adat terbesar di Indonesia berdasarkan pengakuan Kementerian Dalam Negeri. Bahkan kepengurusan LMI sampai ke luar negeri diantaranya Amerika Serikat dengan 29 negara bagian dan Jepang.

Melalui LMI ia berhasil merubah stigma negatif masyarakat selama ini tentang ormas. Tidak ada yang namanya minuman keras, tidak ada aksi premanisme dan anarkis dalam aktivitas LMI. Ia selalu mengajarkan ormas ini semangat toleransi dan kerukunan.

“Lebih baik seorang preman, pemabuk, penjudi, dan lain sebagainya masuk LMI dan bertobat dari pada seorang yang alim masuk LMI lalu menjadi preman, pemabuk, penjudi dan lain sebagainya,” ujarnya.

Kata-kata Pendeta Hanny ini bukan isapan jempol. Banyak preman yang kemudian masuk LMI dan bertobat bahkan ada yang menjadi hamba Tuhan baik pendeta, pelayan khusus dan sebagainya.

Yang unik di LMI (berbeda dengan ormas lainnya) ketika ada perayaan keagamaan dan HUT LMI atau kegiatan akbar selalu diawali dengan ibadah dan Pendeta Hanny sendiri yamg memimpin ibadah serta membawakan Firman dan renungan.

Ia juga selalu mengajak pengurus dan anggota LMI untuk peduli dengan masyarakat tanpa memperhatikan latar belakang agama, suku, ras dan antar golongan (SARA). Terbukti ketika bencana banjir menghantam Kota Manado dan Sulut diterpa bencana pandemi Covid-19, Pendeta Hanny mengerahkan anggota LMI membantu masyarakat menyalurkan bantuan sembako tanpa melihat latar belakang agama dan suku. Ia bahkan beberapa kali keluar masuk masjid demi membantu umat Muslim yang tertimpa bencana tersebut.

Baca Juga  Pendeta Hanny Pantouw Ucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa dan Mendoakan Umat Muslim

Dalam pelbagai kegiatan, Pendeta Hanny selalu menegaskan bahwa bagi LMI Pancasila dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah harga mati. Tidak bisa ditawar. Karena itu ketika ada upaya mengubah Pancasila dan mengganggu NKRI serta terjadi aksi teror dan intoleran yang mengancam toleransi maka ia langsung bereaksi keras dan bergerak memimpin aksi damai gabungan ormas adat seperti yang terjadi di Jalan Sea, Manado, Kamis (26/11/2020), yang dalam orasinya tegas menolak dan melawan kelompok terorisme, radikalisme dan intoleran di Indonesia dan sekaligus mendukung penuh pemerintah dan TNI/Polri untuk menangkap siapa saja yang hendak memecah belah bangsa.

“Saya tegaskan bahwa kalau sudah menyangkut persoalan SARA, makar, radikalisme, terorisme dan intoleran, saya dan Laskar Manguni Indonesia akan berada di barisan depan untuk menolaknya. Kami lawan dan siap mati karena Pancasila, NKRI dan toleransi adalah harga mati bagi kami,” tegasnya.

Komitmen toleransi juga selalu diajarkan dan diterapkan Pendeta Hanny di LMi, tidak dalam internal organisasi tapi juga dengan mengerahkan personel LMI turun menjaga masjid dan gereja ketika berlangsung perayaan Hari Keagamaan Idul Fitri dan Natal serta membantu dan bersinergi dengan TNI / Polri menjaga keamanan di malam Tahun Baru. Tak heran bila kemudian LMI mendapat piagam penghargaan dari Gubernur Sulut Olly Dondokambey yang diterima langsung Pendeta Hanny di sela-sela upacara memperingati Hari Lahir Pancasila tahun 2019 di halaman Kantor Gubernur Sulut, tadi pagi.

Ini yang kemudian banyak warga yang beragama Islam masuk menjadi anggota LMI.

“Saya masuk LMI karena melihat semangat toleransi dalam LMi dan sosok toleran dari Pendeta Hanny Pantouw,” kata dua umat Muslim Mohamad Polongolo dan Naning Malohing diwawancarai terpisah.

Pendeta Hanny juga dengan beberapa kali turun langsung memimpin LMI menghadang dan menggagalkan eksekusi terhadap gereja di Kota Manado. diantaranya Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Anugerah Malalayang dan GPdI El Gibbor Tingkulu, Kota Manado serta bersama TNI / Polri menyelesaikan persoalan pengrusahkan tempat ibadah umat muslim di Minahasa Utara. Bahkan Pendeta Hanny juga memimpin demo di Pengadilan Negeri Manado dengan tuntutan tidak ada lagi eksekusi terhadap gereja dan tempat agama lain dengan berlindung di balik hukum, karena jika dilakukan mengancam toleransi karena bisa berpotensi SARA.

“Kalau mau eksekusi tempat ibadah mau gereja, masjid, vihara, pure dan klenteng tembak mati dulu saya. Saya siap jadi tumbal asal tempat ibadah tidak dieksekusi. Karena ini rumah Tuhan, rumah yang dipakai banyak orang untuk beribadah. Jika ada persoalan hukum terkait pendirian tempat ibadah, mari kita duduk bersama carikan solusi agar penegakan hukum jalan tapi tempat ibadah tidak dieksekusi,” paparnya.

Juga ketika Bar Holywings Jakarta mempromosikan minuman keras (miras) yang diposting di akun instagram resmi yang bernuansa SARA karena menawarkan minuman beralkohol gratis itu kepada mereka yang bernama Muhammad dan Maria, Pendeta Hanny turun langsung memimpin LMI mendatangi Bar Holywings yang ada di Kawasan Megamas. Karena menurutnya, Muhammad bagi umat Muslim adalah utusan Allah dan nama Maria bagi umat Kristiani khususnya Katolik merupakan utusan Allah yang telah melahirkan Yesus Kristus. Dan penggunaan nama-nama itu di promo minuman keras telah menimbulkan ketidaknyamanan dan sangat melukai hati umat Muslim dan Kristen. Apalagi ini Manado yang berpredikat kota paling toleran di Indonesia.

“Ini jadi pelajaran kita semua bahwa yang mengganggu kebhinekaan kita, kedaulatan kita, toleransi kita, kita akan lawan,” tegasnya.

Sebagai pemimpin Ormas Adat, Pendeta Hanny selalu hadir dan bersuara keras di banyak forum resmi. Saat diberikan kesempatan berbicara, ia selalu menegaskan bahwa Pancasila dan NKRI serta toleransi beragama harga mati sambil menyorot penegakan hukum di Indonesia yang dianggapnya kurang tegas.

Ia tak ragu menyebut nama Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Sihab yang telah menghina Presiden Jokowi dan menyebut agama lain kafir serta Penceramah Ustadz Abdul Somad (UAS) dan Pendakwa Yahya Waloni yang sudah menjelek-jelekan dan menghina salib agama Kristen dan Alkitab dan menuntut untuk ditangkap dan diproses hukim karena mengancam toleransi dan kerukunan beragama.

Dalam pelbagai kegiatan, Pendeta Hanny selalu menegaskan bahwa bagi LMI Pancasila dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Karena itu ketika ada upaya mengubah Pancasila dan mengganggu NKRI serta terjadi aksi teror dan intoleran yang mengancam toleransi, Pendeta Hanny langsung bereaksi keras dan bergerak memimpin aksi damai gabungan ormas adat seperti yang terjadi di Jalan Sea, Manado, Kamis (26/11/2020), yang dalam orasinya tegas menolak dan melawan kelompok terorisme, radikalisme dan intoleran di Indonesia dan sekaligus mendukung penuh pemerintah dan TNI/Polri untuk menangkap siapa saja yang hendak memecah belah bangsa.

“Saya tegaskan bahwa kalau sudah menyangkut persoalan SARA, makar, radikalisme, terorisme dan intoleran, saya dan Laskar Manguni Indonesia harus berada di barisan depan untuk menolaknya. Kami lawan dan siap mati karena Pancasila dan NKRI harga mati bagi kami,” paparnya.

Potret toleransi dan kerukunan beragama yang diwujudkan Pendeta Hanny juga terlihat di mana ia sangat intens berjumpa, bersilaturahmi dan berdikusi tentang toleransi dan kerukunan beragama dengan para imam, ustad, haji dan habib, serta umat muslim. Ia selalu diundang dan memenuhi undangan menghadiri acara-acara keagamaan umat muslim di kota Manado dan sekitarnya dan didaulat membawakan ceramah kebangsaan dan sambutan yang berisikan ajakan membangun toleransi dan kerukunan beragama.

Baca Juga  Sulut Raih Penghargaan Pelopor Toleransi dan Kerukunan, Kontribusi Tokoh Ini Jadi Sumber Inspirasi

Bahkan ia beberapa kali masuk ke dalam masjid membaur dengan para tokoh dan umat muslim lalu didaulat “berkotbah” tentang toleransi dan kerukunan serta
menyuarakan “Takbir” di dalam masjid dan ruang publik kala menghadiri acara keagamaan bersama para tokoh dan umat muslim di kota Manado. Ia tak jarang pula ia ikut menyumbangkan uang pribadinya untuk pembangunan sebuah masjid seperti yang terjadi di Langowan Minahasa dan sebuah tempat rohani umat muslim di Manado beberapa waktu lalu.

“Meskipun kita berbeda agama dan suku, tapi kita harus tetap saling menghargai satu sama lain. Jika negara kita yang besar ini tidak dijaga dengan baik, jika keberagaman ini tidak dipelihara dengan sungguh-sungguh serta jika toleransi dan kerukunan beragama tidak dirawat dengan baik, maka negara kita berpotensi rusuh. Kita tidak bisa menghapus keberagaman ini, tapi kita bisa menjaga dan merawat toleransi dan kerukunan. Karena perbedaan itu anugerah,” jelasnya dalam setiap kessmpatan.

Pendeta Hanny menyebut, toleransi dan kerukunan beragama dapat dirawat salah satunya lewat komunikasi yang baik dan silaturahmi yang intens yang selalu terbangun dan dimulai dari diri kita sendiri. Untuk ini ia sudah dan akan selalu mewujudkannya.

“Saya percaya bahwa petunjuk Muslim sudah final yakni Alqur’an dan petunjuk Kristen sudah final yaitu Alkitab. Jalani saja agama kita masing-masing. Jadilah Muslim yang baik agar jika tetanggamu Kristen, dia bisa tidur nyenyak karena dia tahu di sebelahnya ada Muslim yang baik. Jadilah Kristen yang baik agar kalau tetanggamu Muslim, dia bisa tidur nyenyak karena dia tau disebelahnya ada orang Kristen yang baik,” ajaknya dalam banyak kesempatan.

Untuk menjaga dan merawat toleransi dan kerukunan beragama, Pendeta Hanny dalam setiap kesempatan selalu mengajak untuk menjalani hidup beragama secara baik.

“Saya percaya di semua agama selalu mengajarkan hal-hal yang baik. Bahwa semakin kita dekat dengan Tuhan semakin baik hidup beragama kita.
Sehingga pemahaman saya orang yang beragama dengan betul hidupnya semakin baik bukan memprovokasi, intoleran, mabuk, tipu, judi anarkis dan sebagainya. Soal ada pendeta masuk Muslim dan ustad masuk Kristen itu oknum. Tapi kita tidak boleh mengganggu toleransi di tengah keberagaman yang ada,” tukasnya.

Dan di akhir tahun 2022, Pendeta Hanny lagi-lagi menghadirkan sejumlah potret toleransi yang mengagumkan, mengejutkan dan penuh inspiratif, bahkan ada yang terbilang paling unik dan langka karena baru pertama kali terjadi.

Potret toleransi dan kerukunan beragama pertama dihadirkan Pendeta Hanny di akhir tahun adalah menggelar kegiatan bertajuk “Silahturahmi Dewan Pimpinan Pusat Laskar Manguni Indonesia Bersama Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulut Bapak H. Sarbin Sehe S.Ag, MPd. I , dan juga Tokoh – Tokoh Agama di Sulut dalam rangka Hari Raya Natal dan Tahun Baru” di kediamannya beralamatkan Jalan Air Hidup Tateli Kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara, Rabu (28/12/2023) malam.

Di momen ini penegasan beserta ajakan dan komitmen untuk terus menjaga dan mengawal, merawat dan menghidupi toleransi dan kerukunan beragama, termasuk mewujudkan Moderasi Beragama di Bumi Nyiur Melambai dan Indonesia dari semua tokoh agama yang hadir dan menjadi pembicara

Potret toleransi dan kerukunan beragama yang kedua ditunjukan Pendeta Hanny. Masih di sela-sela momen acara silaturahmi tersebut, ia tak sekedar mewujudkan secara verbal, tapi juga dalam tindakan yang nyata tatkala ia memutuskan menggeser jadwal acara silaturahmi tersebut demi memberikan kesempatan untuk umat muslim beribadah.

Pesan toleransi ketiga adalah ketika ia sendiri bersama sang istri Maidy Palar turun tangan menyiapkan tempat sholat dan air wudhu sehingga umat muslim dapat menjalankan sholat di salah satu ruangan terbuka di kediamannya itu.

Hal ini mendapat apresiasi dari banyak orang yang melihatnya. Sampai-sampai Habib Sayyed Umar Allhabsyi dan Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Utara Haji Sarbin Sehe n S.Ag, MPd. I., yang hadir dalam acara silaturahmi dan menyaksikan hal itu memberikan pengakuan mereka.

“Perdana (yang pertama kali, red) malam hari ini saya menyaksikan umat muslim Sholat di rumah pendeta (Hanny Pantouw). Ini luar biasa. Makanya Papi ini Pendeta mo cari dari ujung dunia dari timur sampai barat tidak ada pendeta yang mau duduk dengan habib, baca maulid, baca ratib sama-sama, takbir sama-sama. Cuma Pendeta Hanny Pantouw yang melakukan itu,” papar Habib Umar yang mengaku selalu menyapa Pendeta Hanny dengan sebutan “Papi” karena merasa sebagai orang tuanya

“Hari ini contoh yang baru bagi kami tentang menjaga dan merawat toleransi beragama dari pak Pendeta Hanny. Di depan rumah beliau dijadikan tempat Sholat. Kami berikan apresiasi dan pengakuan yang luar biasa. Saya memang baru dua bulan mengenal Pendeta Hanny tapi dari apa yang sudah saya dengar, saat kami bertemu, berdiskus dan ketika hari ini saya melihat langsung, saya berani berkata bahwa Pendeta Hanny Pantouw adalah tokoh toleransi, seorang tokoh agama yang intens dan selalu setia menjaga dan merawat toleransi dan kerukunan beragama di Sulut,” puji Kakanwil.

Potret toleransi dan kerukunan beragama keempat yang diwujudkan Pendeta Hanny adalah ketika ia datang menjemput Al Habib Sayed Sayyed Umar Alhabsyi di Masjid, Sabtu (31/12/2022) malam, lalu keduanya berada dalam satu mobil di mobil terbuka Jeep Komando LMI yang di bagian belakang mobil tersebut dipasang bendera merah putih dan Ormas LMI keliling Kota Manado dengan dikawal pasukan khusus baik dari LMI maupun dari pemuda Muslim dan finis di Lapangan Kampung Ternate Manado dan disambut meriah ribuan umat muslim sebelum berlangsung acara Dzikir Akbar Shalawat Akhir Tahun bersama para tokoh dan umat muslim di Kampung Ternate Kota Manado.

Baca Juga  SMP Negeri I Lirung Diharapkan Jadi Pelopor Sekolah Ramah Anak di Talaud

Aksi yang luar biasa ini juga disebut-sebut belum pernah terjadi baik di Sulut maupun Indonesia bahkan di dunia sehingga menjadi viral di media sosial.

Potret toleransi dan kerukunan beragama kelima yang diwujudkan Pendeta Hanny adalah ketika ia didaulat membawakan Ceramah Kebangsaan di acara Dzikir Akbar akhir tahun tersebut. Dalam ceramahnya, Pendeta Hanny berulang kali menegaskan komitmennya sekaligus mengajak seluruh tokoh agama Islam dan umat Muslim yang hadir untuk terus menjaga dan mengawal, merawat dan menghidupi toleransi dan kerukunan beragama demi mewujudkan Moderasi Beragama.

Bahkan yang mengejutkan di sela-sela ceramahnya Pendeta Hanny beberapa menyerukan kata “Takbir” dan juga menyampaikan isi nats Alkitab dengan mengutip Mazmur 133:1-3 yang berisikan ajakan untuk hidup rukun dan damai di tengah perbedaan. Sebuah tindakan yabg belum pernah dibuat oleh tokoh agama sebelumnya.

Di balik rentetan potret toleransi dan kerukunan beragama yang telah diwujudkan Pendeta Hanny, sebuah kesaksian hidup yang menakjubkan datang dari orang kecil dan sederhana, pasangan suami istri yang beragama Islam Ol Heri Mamonto dan Indry Noe.

Indry Noe pun bercerita awalnya sebelum menikah, suaminya Ol Heri Mamonto merantau dan bertemu Pendeta Hanny di Jakarta yang waktu itu menjadi preman di Jakarta. Suaminya itu pun ditampung Pendeta Hanny dan diperlakukan dengan sangat baik. Bahkan ketika Pendeta Hanny pulang dan tinggal di Manado pada Tanggal 28 Februari 1997 Ol pun ikut serta dan tetap tinggal bersama Pdt Hanny di Manado.

Dua tahun kemudian (1999, red) ketika konflik bernuansa SARA pecah di Propinsi Maluku Utara, khususnya di Kota Ternate, orang tua dari Ol kuatir dengan keselamatan anak mereka karena anak mereka tinggal bersama seorang pendeta. Namun ketika kekuatiran orang tua itu diutarakan Ol, Pdt Hanny dengan tegas menyatakan akan melindunginya.

“Pendeta Hanny bilang dia pastikan tidak akan ada yang akan menyakiti Oi. Selama Ol bersamanya Ol aman. Dan Pendeta katakan jika ada yang coba-coba ingin mengganggu Ol, akan berhadapan dengan Pendeta sehingga kedua orang tua Ol menjadi tenang,” kata Indry.

Tak sampai di situ, Indry pun bercerita tentang Ol yang hendak melamarnya di rumahnya di Kampung Ternate Manado tahun 2002. Kala itu Pendeta Hanny dan Bunda Maidy menjadi walinya dan mendampingi Ol saat melamarnya dan bahkan membantu Ol memenuhi kebutuhan pernikahannya. Di momen peminangan itu Pendeta Hanny selaku utusan delegasi calon mempelai pria diterima langsung oleh pimpinan delegasi calon mempelai wanita Imam (Alm) Nune Mantau, Kasie Pendis Usran Mantow dan Kepala KUA Kecamatan Tikala Imran Mantau

“Momen itu di tahun 2002 di mana sejarah mencatat seorang pendeta berinteraksi dengan Imam memimpin hantaran belanja dalam acara hantaran/lamaran dan berlanjut sampai pada proses pernikahan. Dan itu menjadi kesaksian Pak Imam Alm. Nune Mantow yang mengatakan seumur umurnya dan selama ia menjabat sebagai imam, baru kali ini ada pendeta datang maso minta. Uniknya pengantinnya dua-dua muslim yang maso minta seorang Pendeta,” kata Indry.

“Kurang lebih 25 tahun silam kami hidup bersamamu (Pdt Hanny, red) dan keluargamu, satu atap, satu dinding, dengan satu perbedaan yang sakral yaitu perbedaan aqidah namun bagi kami perbedaan itu adalah karunia, berbeda keyakinan tidak membatasi ruang gerak kami untuk tetap satu dalam bingkai silaturahmi. Dan tujuh tahun lalu Pendeta Hanny diberkati dengan salah salah satu usaha Percetakan Paving dan Alhamdulillah/Puji Tuhan kau memberikan kepercayaan itu pada suamiku Ol Heri Mamonto mengolah usaha tersebut beserta dengan fasilitas kendaraan untuk keperluan pekerjaan proses pembuatan paving yang sampai dengan sekarang ini masih tetap berjalan dan atas kehendak Tuhan. Bagi kami Pdt Hanny Pantouw bukan lagi pimpinan namun lebih dari itu, yakni orang tua yang selalu dan senantiasa membimbing, menasehati, memotivasi, serta sosok pemberani, tangguh, motivator, toleran, nasionalis, dermawan, baik, penyantun dan panutan,” beber Indry.

Tak heran bila kemudian Pendeta Hanny beberapa kali mendapatkan penghargaan dari Internasional Human Resources Development Program (IHRDP) Foundation. Ia dianugerahi piagam penghargaan sebagai Pria Kawanua Berprestasi Tahun 2020, dan bersama keluarganya mendapat penghargaan “Familly Role Model Award 2021” dari IHRDP Foundation. Lewat penghargaan tersebut, Pdt Hanny dan keluarganya dinobatkan sebagai Pemimpin dan Keluarga Teladan Tahun 2021.

Rentetan potret toleransi dan kerukunan beragamanya itu membuat Pendeta Hanny Pantouw dipercaya masuk dalam
program “Tokoh Toleransi Nasional” oleh salah satu televisi nasional yang kemudian membuat liputan khusus di kediaman Pendeta Hanny.

Dan di saat bersamaan Kakanwil Kemenag Sulut Haji Sarbin Sehe menegaskan bahwa Pendeta Hanny adalah sosok toleransi yang menginspirasi banyak orang, seorang tokoh Moderasi Beragama untuk Indonesia.

“Dari Sulut kita dorong agar Pdt Hanny dapat menjadi tokoh toleransi nasional, tokoh moderasi beragama Indonesia. Karena negara Indonesia butuh tokoh seperti Pendeta Hanny Pantouw,” pungkas Haji Sarbin Sehe. (*)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0